Revolusi AI: Masa Depan Media Baru atau Akhir Jurnalisme Tradisional?

 


Penulis: Mira Sahid

COGOIPA.ONLINE- Industri media menghadapi tantangan baru di tengah perkembangan teknologi yang semakin pesat. Selain dituntut mampu menghadirkan kecepatan informasi secara akurat, media―terutama jajaran redaksi dan jurnalisnya―juga harus bisa beradaptasi dengan hadirnya kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) dalam kerja-kerja jurnalistiknya.

Tanpa mengikuti langgam teknologi baru yang bergerak cepat, media yang masih memakai cara kerja lama dikhawatirkan akan tertatih-tatih menghadapi perubahan zaman.

Berkembangnya AI dalam dunia jurnalistik, memang telah memaksa media untuk beradaptasi, sekaligus tetap terikat pada Kode Etik Jurnalistik. Hal ini penting untuk dipegang teguh, agar kredibilitas dan kualitas jurnalisme bisa tetap kuat terjaga.

Publikasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia yang dilansir pada Desember 2024 menunjukkan, mayoritas perusahaan media, baik nasional mapun lokal di daerah, telah menggunakan AI untuk menghasilkan karya jurnalistiknya. Langkah tersebut, dilakukan mulai dari tahap pencarian data/informasi awal, analisis tren, hingga diseminasi laporan. Dari sini bisa disimpulkan, AI telah memberikan dampak yang sangat siginifikan dalam industri media.

Wakil Sekjen Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial Indonesia (Korika) di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dini Fronitasari mengungkapkan, AI telah membangun hegemoni baru pada jurnalis dalam memproduksi karya jurnalistik. Satu sisi, AI dapat menjadi rekan kerja yang efektif. Namun, di sisi lain, etika jurnalistik juga harus benar-benar diperhatikan.

Dari sisi penggunaan, AI ini mencakup berbagai teknik dan pendekatan, antara lain pembelajaran mesin (machine learning), pengolahan bahasa alami (natural language processing), pengenalan pola, dan pemecahan masalah. Hal ini menjadi acuan bagi media dan jurnalis agar tetap dapat membuat karya jurnalistik yang bisa menyentuh sisi emosional yang tidak dimiliki oleh AI.

TVOne, misalnya, memperkenalkan presenter AI dalam program Apa Kabar Indonesia, April 2023 lalu. Pemimpin Redaksi TVOne, Karni Ilyas menjelaskan bahwa “dirinya” yang tampil saat itu merupakan buatan mesin. Terobosan ini menandai penampilan Karni sebagai presenter avatar pertama di Indonesia. Menyebut sebagai inovasi teknologi, TVOne pun mengklaim sebagai media pertama berbasis AI di Indonesia.

Konsep yang dilakukan TVOne itu memang belum sepenuhnya diikuti oleh media elektronik lainnya. Boleh jadi, sebagian media masih menganggap, dalam penyampaian sebuah berita atau informasi, pendekatan secara psikologis dan sentuhan emosional dari presenter sesungguhnya sebagai pemberi informasi tetap diperlukan untuk membangun engagement dengan pemirsa. Apalagi jika dalam penyampaian berita tersebut, seorang presenter mampu menghadirkan ekspresi secara mendalam, seperti yang dilakukan presenter Metro TV, Valention Resa, yang dengan gaya kocak maupun satirnya berhasil membuat informasi tersampaikan dengan cara berbeda.

Selain itu, menurut riset Next Gen News–Understanding The Audience of 2030, generasi saat ini lebih menyukai membaca berita dengan spesifikasi tiga hal, yakni trusted source (sumbernya bisa dipercaya), personal significance (kedekatan dengan dirinya sendiri), dan design story telling (bercerita).

Hal ini membuktikan, jika media menghadirkan sebuah berita dengan narasi AI sepenuhnya, baik secara teks maupun video, justru memungkinkan pembaca semakin tidak tertarik.

Tantangan dan dilema

Tidak bisa dipungkiri, fungsi AI saat ini dapat membantu kerja jurnalisme dalam memproduksi, meningkatkan efisiensi serta memperkuat akurasi sebuah pemberitaan. Tapi, di lain sisi, penggunaan AI yang tidak tepat juga bisa menimbulkan potensi bias akan sebuah informasi.

Dari survei yang dilakukan suara.com bersama Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) pada 150 media lokal di 30 provinsi di Indonesia, ditemukan 44 persen media sudah menggunakan AI, serta 39 persen jurnalis telah memanfaatkan AI untuk media lokal. Namun, dari hasil hampir 40 persen itu diketahui bahwa tingkat pemanfaatan AI pada media lokal masih kecil, di bawah 25 persen. Pemimpin Redaksi suara.com, Suwarjono dalam diskusi online Tantangan dan Dilema AI bagi Media dan Jurnalis menerangkan, ada beberapa tantangan yang dihadapi media dan jurnalisme dalam pemanfaatan AI. Hal itu, antara lain:

Pertama, media dan jurnalis tidak mengetahui secara persis jika selama ini mereka telah memanfaatkan AI untuk menunjang pekerjaannya, seperti traffic, autoteks dan lain-lain. Hal ini diakibatkan karena ada gap yang cukup besar terkait teknologi di media lokal dengan kota-kota besar.

Kedua, kekhawatiran soal tenaga kerja bahwa AI akan meggantikan posisi awak media di bagian editor. Hal ini berbeda dengan reporter yang justru masih sangat diperlukan di lapangan untuk mendapatkan sebuah berita.

Ketiga, diperlukan regulasi yang mengatur pemanfaatan AI secara spesifik bagi media dan jurnalis. Hal ini diperlukan untuk mengatasi terjadinya disrupsi AI yang sangat cepat, setelah disrupsi di media sosial.

Ketua Dewan Pers periode 2022-2025, Ninik Rahayu menyampaikan, AI telah merevolusi industri media dengan mengotomatisasikan tugas berulang dan mengoptimalkan proses yang kompleks. Meski begitu ia mengingatkan, selain dapat membantu memudahkan pekerjaan dalam pembuatan narasi, AI juga dapat memunculkan beberapa risiko. Hal ini mulai ketidakakuratan dan potensi misinformasi, risiko etika dan keamanan, potensi bias algortima, pelanggaran hak cipta, pengungkapan data pribadi, ketergantungan pada AI untuk pelaporan yang penting, hingga ancaman pada jurnalis dan pekerja industri media tradisional.

Namun dari sejumlah tantangan tersebut, bukan berarti kita menjadi anti dengan penggunaan AI. Apalagi teknologi ini justru kian memudahkan jurnalis dalam proses pembuatan berita hingga jadi lebih efisien. Tentu saja, hal ini perlu didukung dengan tanggung jawab dan batasan dari penggunanya, yaitu media dan jurnalis, agar AI tidak merusak nilai-nilai fundamental jurnalistik―seperti keakuratan, keadilan, dan independensi.

Untuk menjaga kontrol tersebut, Dewan Pers pun telah meluncurkan Pedoman Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam Karya Jurnalistik, yang tertuang dalam Peraturan Dewan Pers Nomor: 1/Peraturan-DP/I/2025 tentang Pedoman Penggunaan Kecerdasan Buatan dalam Karya Jurnalistik. Pedoman ini terdiri dari dari 8 bab dan 10 pasal, yang mencakup: Ketentuan Umum; Prinsip Dasar; Teknologi; Publikasi; Komersialisasi; Perlindungan; Penyelesaian Sengketa; dan Ketentuan Penutup.

Perubahan medium

Seperti diuraikan sebelumnya, ketika teknologi AI memasuki ruang lingkup jurnalistik, maka para penggunanya tetap harus memberi batasan untuk setiap informasi dan akurasi. Apalagi dalam hal ini, media memiliki peran dalam membentuk realitas sosial. Kita tentu tidak ingin jurnalisme kehilangan roh atau human touch. Hal ini selaras dengan teori Agenda Setting (McCombs & Shaw, 1972) yang mengingatkan bahwa media bukan hanya menyampaikan informasi, tapi juga menentukan apa yang dianggap penting oleh publik. Maka jika AI menyusun agenda berdasarkan algoritma tanpa kesadaran nilai, empati, dan konteks sosial, bisa jadi publik akan mendapatkan pemahaman yang dangkal dan bias tersembunyi.

Sementara itu, McLuhan lewat teori The Medium is the Message menegaskan bahwa teknologi sebagai medium memiliki dampak yang jauh lebih kuat daripada konten itu sendiri. Ketika jurnalisme bertransformasi ke dalam bentuk otomatisasi penuh oleh mesin, maka yang berubah bukan hanya cara menerima berita, tapi juga cara kita memaknai dunia. Tanpa kontrol editorial manusia yang kritis dan reflektif, narasi yang dibentuk cenderung kehilangan jiwa―menjadi sekadar teks tanpa rasa, informasi tanpa kepekaan.

Inilah tantangan etis dan substansial dari era media baru: bagaimana bisa menjaga agar jurnalisme tetap menjadi alat pencerah dan bukan sekadar mesin pengumpul fakta.

Biarlah AI menjadi alat untuk mempercepat kerja, tapi biarkan manusia tetap memegang arah dan makna dari setiap berita yang dibentuk. Begitu kira-kira arahnya.

Jurnalisme dan AI: kolaborasi atau kompetisi?

Terus terang saya memiliki keresahan terkait era singularity AI dalam kehidupan saat ini dan di masa mendatang. Terlebih, dalam ruang lingkup jurnalis yang menjadi penyampai pesan kepada masyarakat. Pada hakikatnya, kita perlu beradaptasi pada teknologi. Namun di sisi lain, jika tidak mampu menghadapi era disrupsi yang terus berkembang, lantas bagaimana posisi dan kehadiran manusia dalam memberikan sisi emosional dalam sebuah informasi?

Mestinya kehadiran AI bisa menjadi teman kerja yang asyik, bukan menggantikan semua kerja jurnalistik yang telah dilakukan sebelumnya. Terlepas dari pro dan kontra, ada baiknya kita tidak lagi berada dalam posisi saling mendebatkan. Melainkan mengupayakan langkah bersama, bagaimana media bisa tetap melakukan penyebaran informasi dengan akurat, dan jurnalis tetap memegang kendali atas narasi yang dibuatnya. Dengan demikian jurnalis mampu menghadirkan nilai sejarah atas peristiwa yang memberikan makna mendalam pada masyarakat tanpa harus menghilangkan sisi kemanusiaannya. Bukan tidak mungkin, jika tidak ada kontrol dari penggunaannya, AI bisa menjadi kompetitor yang “diam-diam” mengikis peran manusia. Kita juga tidak berharap, berita-berita ke depannya hanya muncul berdasarkan bias algoritma, bukan karena keakuratan berdasarkan riset yang mendalam.

Masa depan jurnalisme

Layaknya sebuah kopi yang tersaji dalam cangkir, proses suatu berita yang didukung oleh AI tentu harus melewati berbagai langkah, mulai dari bagaimana menerapkan strategi AI generatif beserta strategi komunikasinya, cara menerapkan AI generatif di ruang redaksi, infrastruktur untuk ruang redaksi yang siap dengan AI, struktur organisasi yang diberdayakan oleh AI, dan pada bagian akhir, bagaimana konteks penerapan AI harus dilakukan. Oleh karena itu, di tengah derasnya perkembangan teknologi, sejatinya AI tetap bisa menjadi pendukung kinerja agar lebih efisien dan memperkuat peran jurnalisme.

Dalam konteks teori komunikasi massa, pendekatan Uses and Gratifications memberi pandangan bahwa masyarakat sebetulnya tidak pasif. Mereka akan terus mencari, memilih, dan menilai informasi berdasarkan kebutuhannya. Maka, media dan jurnalis perlu hadir dengan kualitas narasi yang melampaui “apa yang terjadi”, tetapi juga “mengapa hal itu penting bagi manusia”. Sehingga realitas sosial yang terbentuk telah melewati pemaknaan yang lebih bijak.

Ke depan, AI bisa jadi akan terus mengubah industri media. AI akan melengkapi alur kerja profesional dengan tetap mengedepankan etika dalam penggunaannya. Siapa pun media/perusahaan yang menerapkan prinsip-prinsip AI dengan bijak, maka akan mampu berinovasi dalam penyebaran informasi di ruang digital yang terus berkembang.(*)

Sumber Tulisan: Merdika.id