COGOIPA.ONLINE HALTENG – Fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di daerah industri seperti Halmahera Tengah (Halteng) melibatkan interaksi kompleks antara dunia usaha yang menghadapi tantangan ekonomi dan pemerintah yang berupaya menjaga stabilitas ketenagakerjaan serta pertumbuhan ekonomi. Dunia usaha di Weda, didominasi oleh industri pertambangan nikel skala besar dengan jumlah tenaga kerja mencapai lebih dari 95 ribu orang (data Disnaker Halteng per 1 Desember 2025), berpotensi menimbulkan perselisihan hubungan industrial yang kompleks.
Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Seksi Hubungan Industrial dan Jamsos (mediator hubungan industrial ahli muda) Kabupaten Halmahera Tengah, merespon berbagai tuduhan kepadanyadi beberapa media online, Safrin Ishak, saat dihubungi wartawan cogoipa.online, Sabtu (29/12/2025).
Menurut Safrin, kompleksitas perselisihan dapat mencakup perselisihan hak, kepentingan, PHK, maupun antar serikat pekerja dalam satu perusahaan. Ia menanggapi aduan PHK dari sejumlah mantan pekerja yang diberitakan sebelumnya, dengan menyebutnya sebagai bentuk kritik yang membangun bagi peningkatan profesionalisme tugas mediator.
"Meski demikian, dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, pihaknya tetap berpedoman pada Standar Operasional Prosedur (SOP) sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan peraturan pelaksananya, terutama Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014," tegas Safrin.
Ia menjelaskan bahwa penilaian kinerja mediator perlu dilihat secara komprehensif, mengingat ada kualifikasi sanksi PHK tertentu yang dapat menggugurkan hak pekerja atas pesangon.
"Mungkin teman-teman keliru dalam menilai kinerja mediator, karena ada kualifikasi sanksi PHK tertentu yang dapat menggugurkan hak PHK," jelas Safrin.
Safrin memaparkan perbedaan hak normatif berdasarkan status kerja dan alasan PHK:
PHK karena Pelanggaran Berat: Baik untuk pekerja PKWT (kontrak) maupun PKWTT (tetap), tidak berhak mendapat pesangon. Namun, mereka tetap berhak atas Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) dan Uang Penggantian Hak (UPH), diatur dalam Pasal 52 ayat (2) PP No. 35 Tahun 2021 dan Pasal 158 UU 13 Tahun 2003.
PHK karena Mangkir (Absen tanpa Keterangan):
- Pekerja PKWT: Berhak atas uang kompensasi PKWT yang dihitung proporsional sesuai masa kerja (Pasal 15 PP 35/2021), serta hak lainnya seperti sisa upah dan BPJS. Namun, tidak mendapat pesangon.
- Pekerja PKWTT: Dianggap setara pengunduran diri. Tidak berhak atas pesangon dan UPMK, tetapi berhak atas UPH (sisa cuti, ongkos pulang) dan Uang Pisah jika diatur dalam perjanjian kerja.
Resign/Pengunduran Diri:
- Pekerja PKWT: Berhak atas Uang Kompensasi (setelah bekerja minimal 1 bulan), tetapi memiliki kewajiban membayar ganti rugi kepada perusahaan sebesar sisa upah sampai kontrak berakhir, sesuai Pasal 62 UU Ketenagakerjaan.
- Pekerja PKWTT: Tidak mendapat pesangon, tetapi berhak atas UPH, Uang Pisah (jika diatur), gaji bulan terakhir, dan sisa cuti, dengan syarat mengajukan resign secara tertulis minimal 30 hari sebelumnya.
Safrin juga mengakui tantangan operasional di lapangan. Sebagai satu-satunya mediator di Kabupaten Halmahera Tengah yang menghadapi puluhan ribu pekerja dengan potensi perselisihan yang hampir setiap saat timbul, proses mediasi tripartit terkadang mengalami keterlambatan.
"Pada prinsipnya saya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan SOP. Jika memang ada keterlambatan penyelesaian dan lain-lain, saya pikir itu sangat manusiawi," ungkapnya.
Ia menambahkan, proses mediasi tripartit kadang terlambat dilaksanakan karena harus menunggu risalah mediasi bipartit dari pihak manajemen perusahaan terlebih dahulu, sesuai dengan tahapan penyelesaian perselisihan yang diatur dalam perundang-undangan.(*)
.png)