![]() |
dr. Akbar Kapissa Baharsyah, Sp.B-Dokter Spesialis Bedah-Eks Direktur Lembaga Kesehatan PB HMI |
Remunerasi (Pembagian Jasa layanan ) di rumah sakit umum daerah (RSUD) kerap dipahami semata sebagai instrumen kesejahteraan tenaga kesehatan. Padahal, persoalan ini menyentuh langsung tata kelola keuangan publik dan kepatuhan hukum administrasi. Situasi menjadi krusial ketika RSUD yang belum berstatus Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) berupaya menerapkan pembagian jasa atau remunerasi berbasis kinerja tanpa pijakan hukum yang memadai.
Secara normatif, sejak awal hukum keuangan negara telah menempatkan remunerasi sebagai bagian dari belanja publik yang tunduk pada asas legalitas. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menegaskan bahwa setiap pengeluaran keuangan negara dan daerah harus memiliki dasar hukum, tujuan yang jelas, serta dapat dipertanggungjawabkan. Kedudukan RSUD sebagai perangkat daerah juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mewajibkan seluruh kebijakan keuangan—termasuk jasa pelayanan dan insentif—berjalan dalam prinsip akuntabilitas dan transparansi. Prinsip ini diperkuat melalui Permendagri Nomor 77 Tahun 2020, yang mengharuskan setiap belanja pegawai ditetapkan melalui mekanisme formal, terdokumentasi, dan sah secara administratif.
Untuk RSUD berstatus BLUD, rujukannya jelas. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2018 melalui Pasal 24 mengatur bahwa BLUD dapat memberikan remunerasi berdasarkan prinsip proporsionalitas, kesetaraan, kepatutan, dan kinerja, dengan tata cara yang ditetapkan melalui keputusan pimpinan BLUD. Regulasi ini memberi ruang fleksibilitas manajerial, tetapi tetap dalam koridor akuntabilitas dan transparansi. Namun, realitas di lapangan menunjukkan banyak RSUD masih berstatus non-BLUD, sementara tuntutan peningkatan kinerja dan keadilan insentif tidak dapat ditunda.
Pertanyaan kuncinya adalah: apakah RSUD non-BLUD boleh berkiblat pada tata kelola remunerasi BLUD? Jawabannya adalah sebuah keharusan secara prinsip maupun metodologi,begitupun mekanisme keuangannya. Walaupun RSUD non-BLUD masih berstatus satuan kerja perangkat daerah (SKPD) murni, tetapi tata kelola yang diatur oleh kerangka hukum pembagian remunerasi cukup tegas dan jelas.
Dalam pembagian remunerasi RSU , Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2018 menjadi rujukan utama. Pasal 24 peraturan ini menegaskan bahwa RSUD dapat memberikan remunerasi kepada pejabat pengelola, pegawai, dan dewan pengawas berdasarkan prinsip proporsionalitas, kesetaraan, kepatutan, dan kinerja. Yang sering diabaikan, tata cara pemberian remunerasi wajib ditetapkan melalui keputusan pimpinan RSU yang sah dan berbasis pedoman tertulis.
Ketentuan tersebut selaras dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan RSU, yang menempatkan remunerasi sebagai bagian dari sistem pengelolaan keuangan publik yang harus akuntabel dan transparan. Pada rumah sakit vertikal milik pemerintah pusat, prinsip ini diperkuat oleh Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 625/Menkes/SK/V/2010 tentang pedoman penyusunan sistem remunerasi rumah sakit, serta Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/D/286/2025 yang mengatur petunjuk teknis pemberian remunerasi berbasis kinerja.
Masalah muncul ketika regulasi tersebut tidak diterjemahkan secara konsisten di tingkat daerah. Di sejumlah RSUD, pembagian remunerasi dilakukan tanpa indikator kinerja yang terukur, tanpa keputusan resmi yang jelas, bahkan berubah-ubah mengikuti kebijakan pimpinan. Praktik semacam ini tidak hanya mencederai rasa keadilan tenaga kesehatan, tetapi juga bertentangan dengan prinsip hukum administrasi.
Dalam praktik pengawasan, kondisi inilah yang berulang kali menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam berbagai Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), BPK menilai pembayaran remunerasi atau jasa pelayanan yang tidak didukung landasan hukum, tidak memiliki pedoman tertulis, serta tidak berbasis indikator kinerja yang terukur sebagai belanja tidak sah. Bahkan, tidak jarang BPK merekomendasikan pengembalian dana ke kas daerah karena dinilai tidak memenuhi prinsip legalitas. Pola temuan ini konsisten terjadi pada RSUD non-BLUD yang menjalankan remunerasi secara parsial, berubah-ubah, dan sangat bergantung pada kebijakan pimpinan semata.
Lebih jauh, temuan audit tersebut memiliki implikasi hukum pidana yang tidak bisa diabaikan. Dalam kerangka Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3, setiap perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan yang dapat merugikan keuangan negara atau daerah berpotensi dipidana. Konstruksi delik ini tidak mensyaratkan adanya niat jahat atau kerugian yang telah nyata. Cukup adanya kebijakan yang menyimpang dari prosedur dan kewenangan yang sah, maka risiko pidana sudah terbuka. Inilah mengapa rekomendasi BPK yang diabaikan sering kali bereskalasi menjadi pemeriksaan oleh aparat penegak hukum.
Dalam perspektif Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, kebijakan remunerasi yang tidak memenuhi unsur kewenangan, prosedur, dan substansi juga tergolong cacat hukum. Konsekuensinya bukan hanya administratif, tetapi juga berpotensi menyeret Menajemen RSUD dan Bendahara ke ranah pertanggungjawaban hukum yang lebih berat. Dengan demikian, remunerasi tidak lagi dapat dipandang sebagai kebijakan internal rumah sakit semata, melainkan sebagai kebijakan publik yang diawasi secara ketat oleh rezim hukum keuangan negara.
Semua ini menegaskan bahwa solusi persoalan remunerasi bukan dengan menabrak aturan, melainkan dengan membangun tata kelola yang sah dan terukur. Bagi RSUD non-BLUD, berkiblat pada sistem BLUD harus dilakukan secara utuh: melalui penataan kelembagaan, penetapan regulasi daerah, serta penyusunan pedoman remunerasi yang transparan dan akuntabel. Dalam pelayanan publik, kepatuhan hukum bukan sekadar formalitas, melainkan prasyarat keadilan, profesionalisme, dan perlindungan bagi semua pihak, baik tenaga kesehatan maupun pengambil kebijakan.(*)
