![]() |
| Gambar ini diambil dari Facebook Made Supriatma|Penulis Made Supriatma |
Pagi tadi, saya mulai lagi menengok politik Amerika yang saya tidak pernah saya mengerti. Saya masih ingat tahun 2024 menjelang Pilpres disana. Saya terkesima dengan Kamala Harris dan pikir dia akan menang melawan Trump. Seorang kolega mengingatkan saya. Ada banyak hal yang terjadi di bawah permukaan yang kita tidak tahu. Saya mendebatnya. Akhirnya benar, pada malam pemilihan, Trump melumat Harris.
Pagi tadi, saya mendengar Demokrat menang dimana-mana. Dua 'blue dog democrats' menjadi gubernur di Virginia dan New Jersey. Keduanya adalah mantan orang bergelut di bidang keamanan. Gubernur terpilih Virginia, Abigail Spanberger, adalah mantan agen CIA. Sedangkan di New Jersey, Mikie Sherill, adalah mantan pilot helikopter lulusan Akademi AL.
Kedua perempuan ini adalah juga anggota Congress (DPR). Tidak itu saja, mereka kawan satu apartemen (roommate) di Washington, DC. Kalau Anda belum tahu, gaji seorang anggota DPR tidak begitu besar. Gaji mereka hanya $174,000 per tahun. Mereka harus bayar pajak pemerintah federal dan negara bagian (states).
Walaupun tampak besar, banyak dari mereka tidak sanggup membayar apartemen sendirian sehingga harus sewa bersama. Bahkan, banyak anggota Congress yang tidur di kantor untuk menghemat khususnya mereka yang rumahnya jauh. Menjadi anggot Congress adalah pekerjaan penuh. Tidak bisa disambi. Mereka berdebat, rapat, berdebat, ikut dalam pemungutan suara, dan lain sebagainya.
Berdiamlah sejenak dan bayangkan para anggota Dewan di negeri Brouhaha ini.
OK, kita balik ke pemilihan tadi pagi. Yang paling besar dan spektakuler adalah kemenangan Zohran Mamdani. Kemenangan Mamdani memecah rekor: ia adalah Walikota New York pertama yang Muslim. Dan, ia tidak pernah malu mengatakan di depan umum. Ia imigran -- asal India, besar di Uganda, dan ayahnya Mahmood Mamdani adalah seorang profesor di Columbia University. Dan, dia tidak pernah malu mengatakan bahwa ia adalah seorang Demokratik Sosialis. Trump dan pada gedibal kanannya sudah menyebutnya sebagai Komunis. So what?
Saya menyimak pidato Zohran tadi pagi. Terus terang, saya terpesona. Ia memang tidak lebih baik dari Obama. Namun ia memberikan gambaran apa yang hilang dari politik Amerika sebuah pidato, yang isinya sarat ide atau gagasan, sangat intelek, namun disampaikan dengan retorika yang dipahami oelh rakyat banyak.
Terlalu lama saya tidak mendengar pidato yang menyehatkan otak. Selama ini, yang saya dengar dari Amerika hanyalah makian murahan serta ejekan dan hinaan selevel anak SD. Ketika Trump membawanya ke tingkat global, ia mengacaukan segalanya. Walaupun ia tidak menang. Lawan-lawannya tahu persis bagaimana memainkan prinjilannya dan membuatnya jinak.
Ketika mendengarikan pidato Zohran, saya kemudian melihat realitas sekeliling saya. Di negeri dimana orang berupah UMR bermimpi bisa nyicil Lambhorgini (saya ambil ini dari komentar seseorang ketika Prabowo bilang akan nyicil utang Woosshh dengan duit yang dia sita dari koruptor).
Di negeri ini, Sodara-sodara, orang tidak butuh pidato. Orang butuh kotbah. Dan, itu bisa Anda dapatkan dimana-mana. Politisi, pejabat, pemuka agama, anggota DPR, bupati, presiden, pokoknya senang berkotbah, menggurui mereka yang terpaksa harus mendengarnya.
Sebagian orang senang dengan kotbah dan bersedia membayar untuk mendengarkan kotbah. Ini khusunya terjadi di kalangan agama. Dan siapapun bisa menjadi pendeta, ustad, kiai, pastor, pedanda, bhiksu, dll. yang memang tugasnya berkotbah.
Tapi yang lebih menakjubkan adalah bagaimana para penguasa ini berkotbah (maksudnya: pidato). Saya paling senang memperhatikan orang-orang di sekitar yang mendengarkan para penguasa ini berpidato. Mereka manggut-manggut. Seolah-olah mengiyakan. Seberapa tolol pun yang diucapkan oleh pajabat itu. Juga perhatikanlah para pembantu pejabat yang ada di belakangnya ketika ia memberikan keterangan pers. Mereka mengangguk-angguk seperti burung-burungan di dashboard Mikrolet.
Entah mengapa, ketika mendengar Zohran berpidato, dengan diksi yang cerdas, plihan kata yang bernas, dan retorik yang ganas menantang Trump, saya ingat Gibran. Zohran saat ini berusia 34 tahun. Gibran 37 tahun. Keduanya secara literal adalah siang dan malam.
Duh, Gusti . Kenapa Kau kirim Zohran ke New New York. Saya membayangkan pada gedibal Gibran akan bilang ke saya, "Kalau tidak suka, silahkan minggat lagi ke New York." Mereka merasa bahma merekalah pemilik negeri ini.
Entah, Anda merasakan hal yang sama seperti yang saya rasakan atau tidak.(*)
