
Foto: Dewan Pimpinan Pusat PROJO | Penulis Made Supriatma Peneliti pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura.
COGOIPA.ONLINE-Saya senang menonton akrobat. Apalagi kalau ia dimainkan dalam sirkus. Saya suka kalau pemain-pemain akrobat itu menekuk-nekuk tubuhnya. Seakan mereka tidak bertulang belakang.
Sebenarnya akrobat seperti ini tidak saja dimainkan di pertunjukan sirkus. Tapi juga dalam sirkus politik. Bahkan lebih seru lagi. Karena para pemainnya, tidak saja tidak punya tulang belakang. Tapi juga tidak punya urat kemaluan.
Baik. Lupakan sirkus sejenak. Kita ke soal yang paling mutakhir: soal Projo yang berganti baju. Selama ini orang tahu bahwa organisasi ini adalah organisasi "relawan." Saya sengaja memberi tanda kutip karena organisasi semacam ini bisa oxymoronic -- alias relawan dalam konteks ini bertentangan dengan makna sebenarnya. Ia sesungguhnya bisa bermakna relacuan.
Untuk itu, ijinkan saya felxing sedikit. Saya pernah menulis artikel panjang tentang bagaimana organisasi relawan menjadi sarana patronase dari para penggunanya. Sayangnya ia terbit dalam bahasa Inggris.
Pendirinya adalah Budi Arie atau yang biasa dikenal di lingkungan aktivis dengan sebutan Muni. Pada awalnya, Muni adalah kader PDI-P. Kemudian ia membentuk Projo untuk kepentingan pencalonan Jokowi menjadi Gubernur Jakarta pada 2012. Dua tahun kemudian, organisasi ini menjadi "relawan" Jokowi. Ia terlibat dlam pemenangan Jokowi dua kali dalam pemilihan presiden.
Kini, dalam Konggres Projo di Jakarta, organisasi ini ingin mengubah wajah publiknya. Ia tidak lagi ingin dikenal sebagai Pro Jokowi. Projo akan berganti logo. Arti Projo pun di-Sansekerta-kan. Dalam bahasa Sansekerta, praja (प्रजा) bisa berarti mahluk hidup, warga negara, atau keturunan. Dalam bahasa Jawa, praja (dibaca: projo) memang artinya warga atau rakyat.
Pamong Praja dalam bahasa Jawa adalah sebutan untuk birokrasi -- yang dalam konsep feodal berarti "ngemong rakyat" atau mengasuh rakyat. Ya, dalam konsep ini rakyat adalah anak-anak atau orang yang kurang pengetahuannya sehingga harus di-emong.
Tidak itu saja. Projo juga berganti majikan. Kalau dulu, dia adalah pembela militan Jokowi. Maka sekarang ia bergabung ke Gerindra. Otomatis, majikan barunya adalah Prabowo. Sufi Dasco Ahmad, ketua harian Gerindra hadir dalam Konggres Projo ini dan sumringah menyalami para peserta Konggres.
Tentu ini adalah politik. Mengapa Projo beralih ke Gerindra? Siapakah yang berada dibalik ide jenius ini? Apakah Budi Arie ataukah Jokowi? Sebelum Konggres, Budi Arie dan para pengurus Projo sowan ke Solo. Saat berbincang dengan Jokowi, Budi Arie dan kawanannya itu kabarnya sempat diperlihatkan jasah asli Jokowi. Saat keluar, mereka bicara kepada pers dan bilang kalau yakin seyakin-yakinnya kalau ijazah dimana Jokowi berkacamata itu asli.
Sodra tentu bertanya, mengapa Projo ke Gerindra? Mengapa Jokowi tidak mengarahkan Projo ke PSI yang dipimpin anak bungsunya? Apakah Jokowi putus hubungan dengan Projo?
Terus terang, saya tidak tahu jawabnya. Namun saya bisa berspekulasi. Itulah pekerjaan orang yang menganalisis -- berspekulasi yang kebenarannya tidak mutlak juga. Silahkan, kalau Sodara juga punya interpretasi.
Pertanyaan terakhir dulu. Ini mudah dijawab karena sebelum Konggres, Projo sowan Jokowi. Sekalipun tidak hadir di Konggres atas nasehat dokter, Jokowi mengirim video dirinya.
Mengapa ke Gerindra? Mengapa tidak ke partai Gajah Buntung PSI yang dipimpin Kaesang?
Dugaan saya, ini karena faktor masa depan Gibran, anak Jokowi yang sekarang jadi Wapres. Saya melihat beberapa polling. Tapi satu polling yang saya kira terpercaya dan tidak tersedia untuk publik. Dalam satu polling yang saya lihat, elektabilitas Gibran itu nomor tiga setelah Prabowo dan KDM. Cukup tinggi. Dan saat ini Gibran tidak sedang dalam melakukan ofensif. Dia lebih banyak duduk di kursi belakang dan membiarkan Prabowo dan orang-orangnya mengambil panggung.
Namun tidak berarti dia diam. Dia pergi kemana-mana. Dia aktif ke anak-anak SMK/SMA, yang akan memilih pada 2029. Ke PAUD dan TK, yang orangtuanya akan memilih juga pada 2029. Tidak dengan hura-hura. Untuk saya, jelas bahwa Gibran sedang melakukan politik eceran atau retail politics.
Banyak orang memang meremehkan Gibran. Dan orang-orang yang melakukan operasi untuk dia tahu itu. Mereka juga tahu bahwa beban Gibran sangat berat. Namun, orang-orang ini juga tahu persis bahwa mereka bisa melawan gaya tarik bumi. Siapa yang pada 2019 akan menyangka bahwa Indonesia akan dipimpin oleh Gibran? Bahwa potretnya akan ada di tempat-tempat publik, Anda suka atau tidak.
Jelas, orang-orang seperti mereka di Projo ini tahu persis itu. Mereka tahun bahwa kemungkinan Gibran untuk menjadi presiden sangat besar -- entah lewat mekanisme konstitusi karena presiden berhalangan tetap atau lewat pemilihan.
Mengapa Gerindra? Nah ini juga satu soal. PSI sebagai partai baru masih sangat lemah. Dalam beberapa polling, partai ini bahkan tidak masuk dalam pilihan. Partai Gajah Buntung ini memang perlu lebih banyak melakukan sosialisasi dan pencitraan. Itulah sebabnya, Gerindra menjadi pilihan. Sejelek-jeleknya elektabilitas partai ini, ia masih terbesar saat ini.
Perlu ada kuda di dalam benteng yang sekarang berkuasa. Andaikata kuda Anda tidak bisa dipakai.
Apakah Gerindra tidak tahu akan soal ini? Apakah mereka begitu oon dengan menerima mahluk asing ke dalam partai mereka? Tentu tidak. Persoalan paling besar Gerindra adalah siapa yang akan memimpin partai-partai ini setelah Prabowo? Memang ada banyak kader-kader muda. Tapi mereka masih sangat muda. Mereka tidak/belum menguasai infrastruktur dan mekanisme partai sepenuhnya.
Ada satu faktor lagi yang mungkin menjadi pertimbangan: popularitas Jokowi. Anda yang setiap hari membaca medsos akan tahu bahwa Jokowi dipukuli habis-habisan dengan berbagai isu: mulai dari Woosh, IKN, hingga tentu saja ijazah. Anda mungkin yakin bahwa dia sudah tumbang.
Tapi nanti dulu. Survey elektabilitasnya masih tinggi. Memang dia tidak populer kalau dibandingkan dengan presiden-presiden yang ada. Yang paling tidak populer adalah Megawati -- ini abadi karena ada faktor gender juga. Tapi jika dibandingkan dengan Prabowo, orang lebih memilih Jokowi. Dia unggul dalam hal kepemimpinan, dalam hal kedekatan dengan rakyat.
Prabowo tahu itu. Maka itulah sebabnya dia runtang-rutnung dengan Jokowi. Dia berusaha menampilkan Jokowi adalah BFF-nya.
Orang-orang ini, para relacuan, ini tahu persis itu. Lalu apa motif mereka? Apakah mereka memang benar-benar percaya bahwa Gibran akan membawa visi besar untuk bangsa ini? Atau, mereka sendiri yang akan memakai Gibran untuk mewujudkan masyarakat ideal yang mereka cita-citakan alias visi ideologis mereka?
Nah, disini soalnya menjadi menyedihkan. Maaf hingga saat ini saya berkeyakinan bahwa motifnya adalah kekuasaan belaka. Apakah para politisi yang berkuasa sekarang ini memang benar-benar ingin memajukan bangsa ini? Jawaban saya (maaf dalam bahas Inggris), "Yeah, right!"
Kenyataan yang paling menyakitkan adalah mereka cuma ingin berkuasa -- dari kekuasaan ini mereka bisa berbuat apa saja.
Yang paling gila adalah lontaran ide bahwa Gibran menjadi Capres dan Jokowi menjadi Cawapres pada 2029. Apakah ini hil yang mustahal? Ya tidak. Ingat, Anda pernah membayangkan Gibran jadi Wapresmu?
Orang-orang ini akan berbuat apa saja untuk berkuasa. Dan, kowe? Nrimo ing pandum aja bukan?(*)