![]() |
| Penulis Made Supriatma |
Politik tidak hanya kontestasi dalam kepintaran, usulan kebijakan, atau penampilan fisik. Namun juga kontes popularitas (popularity contest). Seorang politisi boleh tidak berparas ganteng atau cantik; tidak pintar, dan tidak punya agenda apapun. Namun dia tetap populer.
Itulah yang terjadi dalam politik kita sekarang ini. Hal-hal dangkal -- dan bukan substansial -- akan memenangkan Anda dalam kontes kepopuleran. Media sosial memperkuat ini semua. Banyak hal dungu dan kelakuan yang dongok justru membuat seorang politisi menjadi populer.
Joget gemoy membawa orang menjadi presiden. Dan, hei, jangan dikira terjadi begitu saja. Tidak. Gemoy adlah hasil koreografi. Ia adalah hasil studi mendalam tentang kebiasaan manusia Indonesia yang menjadi pemilih -- khususnya di media-media sosial. Saya dengar, ia adalah hasil kerja sebuah perusahan dan konsultan politik dari sebuah negara di Eropa Timur.
Sang konsultan dan perusahannya juga sudah sukses membawa BongBong Marcos, Jr. ke tampuk kekuasaannya. Itu sebuah perjalanan yang sesungguhnya mustahil, Marcos, Sr. sang ayah adalah seorang Kleptokrat -- penguasa maling. Semua orang tahu itu. Namun dengan media sosial, semua ingatan itu dicuci bersih.
Sama. Gemoy juga seperti itu bukan? Apa? Tidak bermoral? Gaes, ini bukan masalah moral. Ini adalah masalah, seperti kata Hasan Nasbi, menang dan kalah. Kowe nggak populer pas masa kampanye, kowe out. Kalah! Tapi tentu penentu kemenangan pemilu itu bukan hanya popularitas. Kita tahu, logistik juga penting. Kalau tidak yang paling penting. Tapi popularitas plus logistik akan memberikan Anda 58%, seperti approval rating pemerintahan sekarang. Iya kan?
Popularitas itu penting tidak hanya untuk kampanye. Juga saat Anda memerintah. Kalau Anda bisa membanjiri konsumen Anda dengan citra-citra baggus tentang diri Anda -- tegas, berani, melawan arus, berpihak pada rakyat, dkll. serta mengemasnya menjadi sebuah tayangan yang menghibur (entertaining) maka jadilah Anda politisi yang populer.
Dan, yang terpenting, Anda boleh tidak mengerjakan pekerjaan utama Anda. Atau mengubah pekerjaan utama Anda menjadi pembuat konten.
Hampir semua pejabat di Republik Brouhaha ini melakukan hal tersebut. Yang paling berhasil adalah gubernur Jawa Barat, KDM. Dia fenomenal. Dia mengurusi apa saja, kecuali pemerintahannya. Ketika ada siswa yang nakal, dia kirim ke barak militer. Padahal itu pekerjaan dia, kan? Barak militer memperkuat citra ketegasan dan kekuatannya. Ada tetangga bersengketa di Malang, dia kesana. Terjun mengurusi yang bukan urusannya.
Ada satu pejabat yang akhir-akhir ini moncer sebagai fenomena online. Dia adalah Menteri Keuangan Republik Brouhaha ini. Dia hantam kiri dan kanan. Dan tampaknya dia tahu siapa yang harus diajak berantem. Tentu berantem dengan DPR itu menyenangkan dan mudah -- karena popularitas lembaga ini sangat rendah.
Dia mengocorkan 200 trilyun ke ekonomi Indonesia. Akan tumbuh 6%, katanya. Ekonom-ekonom yang saya ajak bicara sebagian besar mengatakan bahwa menghitung pertumbuhan itu mengandaikan banyak asumsi. Ekonomi selalu adalah ilmu tentang asumsi -- andaikan a harganya konstan, maka kita akan bisa tumbuh sekian; tapi jika berubah maka pengaruhnya akan berkurang di sisi x, bertmabh di sisi ya.
Ituah sebabnya ilmu ekonomi ketika akan membikin sesuatu selalu membuat model (modeling). Model-model itu dibikin berdasarkan asumsi-asumsi dengan data-data yang ada.
Menteri Keuangan yang mulia ini ternyata tidak pernah memeberikan model. DIa hanya kutip angka-angka outputnya. Tidak ada rasionalisasinya. Tapi, rejim pemerintahan sekarang ini memang senang dengan angka-angka. Dan, sebagian besar itu fantastis: sekian 1,600 trilyun kekayaan Danantara. 37 juta orang diberi makan MBG per Oktober 2025. 84 ribu Koperawi Merah Putih. Dan lain sebagainya.
Dan seperti KDM, Menteri Keuangan Anda ini juga sudah mulai mengurusi hal-hal lain. Terakhir dia mengurusi jual beli jabatan di Pemda. Ya mungkin ada juga jual beli itu. Tapi kan sudah ada Mendagri yang ngurus. Mengapa tidak omong ke Mendagri sebelum membuat rusuh di media sosial? Karena bukan itu tujuannya. Tujuannya adalah mencetak skor politik (scoring political points).
Popularitasnya sekarang melambung hingga ke bintang. Sudah sejak Jokowi politik kita berjalan atas dasar pencitraan galak, kaget, tegas, pemarah, dan sanggup terjun ke gorong-gorong. Demi mencetak skor politik.
Dan bahkan saya sudah mendengar ucapan seperti "Purbaya for President." Bukankah Pilpres masih lama? Iya. Tapi popularitas rejim pemerintahan sekarang yang anjlok, meskipun beberapa survey abal-abal mengatakan bahwa popularitasnya masih tinggi, telah membuat orang mencari alternatif. Purbaya adalah alternatif itu.
Dalam sebuah survey yang kredibel, saya melihat nama KDM sebagai politisi nomor dua paling populer. Ini sebelum Purbaya mempesona publik dengan gaya cowboy-nya itu. Menggebrak sana sini dan mengurusi semua hal yang sebagian bukan pekerjaannya. Dan, publik terpesona. Seperti mereka terpesona dengan Jokowi, Gemoy, dan lain sebagainya itu.
Dan, kapan itu, saya melihat berita kecil bahwa Purbaya sudah menemui konsultan yang membuat banyak figur yang tidak populer terpilih memimpin negerinya.
Purbaya for President? Sekarang juga?
