Empat Perempuan Belanda yang Mengkhianati Bangsanya Demi Indonesia

 


Kapal Menuju Tanah yang Sedang Berdarah 6 Desember 1946. Udara Rotterdam menusuk tulang. Kabut pelabuhan menutupi siluet kapal besar bertuliskan Weltevreden, yang bersiap berlayar jauh ke timur menuju Hindia Belanda, sebuah negeri yang baru saja berani berdiri di atas kakinya sendiri.

Di antara hiruk pikuk serdadu KNIL dan para awak, empat perempuan Belanda berdiri diam menatap laut yaitu Dolly Zegerius, serta tiga bersaudara Betsy, Annie, dan Miny Kobus. Namun mereka bukan penumpang biasa.

Mereka bukan datang untuk menaklukkan negeri jajahan mereka datang untuk memihak bangsa yang baru lahir di Indonesia. Di mata Belanda, mereka pengkhianat. Tapi di hati Indonesia, mereka kelak menjadi pejuang kemanusiaan yang setia hingga akhir hayat.

Cahaya dari Rumah Keluarga Kobus

Amsterdam, 1945. Ketika perang dunia usai, keluarga Kobus justru menyaksikan perang lain: perang nurani. Mereka adalah keluarga sosialis yang menentang penjajahan, rumah mereka sering menjadi tempat singgah pelaut dan mahasiswa asal Hindia Belanda.

Di ruang tamu rumah sederhana itu, aroma kopi Belanda bercampur lagu keroncong dari radio. Di situlah ketiga bersaudara Kobus mengenal para pemuda Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan: Djumiran, Djabir, dan Amarie.

Cinta tumbuh di tengah percakapan tentang kemerdekaan. Bagi Betsy, Annie, dan Miny, cinta itu bukan hanya pada lelaki yang mereka pilih, tapi juga pada tanah air yang diperjuangkan para lelaki itu.

Pada 9 Mei 1946, di tengah dinginnya Belanda yang belum pulih dari perang, mereka menggelar pernikahan massal sederhana: Betsy dengan Djumiran, Annie dengan Djabir,bMiny dengan Amarie.

Sejak hari itu, pilihan mereka jelas mereka telah memilih Indonesia sebagai masa depan.

Perjalanan Menuju Negeri Merdeka

Kapal Weltevreden akhirnya berangkat membawa mereka. Namun perjalanan itu bukan tanpa beban. Di dek kapal, para serdadu Belanda yang hendak "menertibkan" republik memandang sinis empat perempuan kulit putih itu.

“Orang tuaku menangis waktu aku pergi,” kenang Dolly puluhan tahun kemudian.

“Bukan karena aku membela Indonesia, tapi karena mereka tahu… aku tak akan kembali.”

Tiba di Tanah yang Terbelah

1 Januari 1947, kapal itu merapat di Tanjung Priok. Jakarta saat itu masih di bawah kekuasaan Belanda. Dari sana mereka menumpang kereta menuju Yogyakarta, ibu kota republik muda.

Di setiap stasiun, mereka melihat rakyat yang lapar, rumah-rumah terbakar, dan wajah-wajah penuh tekad. Di tengah perjalanan, ketiga bersaudara Kobus menjulurkan kepala keluar jendela, berteriak lantang:

“Merdeka! Merdeka!”

Seorang serdadu KNIL menatap mereka heran, lalu berbisik sinis pada kawannya,

“Perempuan gila… membela pribumi.”

Namun mereka tak gentar.

Mereka tahu jalan yang mereka pilih takkan mudah, tapi mereka juga tahu, inilah jalan yang benar.

Penyerahan Anak kepada Bangsa

Setibanya di Yogyakarta, mereka diterima langsung oleh Presiden Soekarno. Sang ibu, Mien Kobus, dengan mata berkaca menyerahkan ketiga anaknya.

“Pak Karno,” ucapnya pelan, “ketiga anak saya ini satu-satunya harta saya. Sekarang saya serahkan mereka untuk Indonesia.”

Bung Karno menepuk bahunya dengan haru.

“Jangan khawatir, Ibu. Kami akan menjaga mereka seperti anak bangsa sendiri.” Sejak saat itu, mereka bukan lagi tamu asing. Mereka adalah bagian dari revolusi.

Ketika Perang Menyala

21 Juli 1947 Agresi Militer Belanda Pertama meletus. Ledakan mortir dan dentum meriam menjadi lagu pagi di seluruh Jawa.

Annie dan Miny bergabung dengan Palang Merah Indonesia (PMI) di Jember, menolong para korban perang dan pengungsi Surabaya. Betsy membantu di pos medis Banyuwangi. Dolly menetap di Solo, mendampingi suaminya, bangsawan Mangkunegaran Raden Mas Soetarjo Soerjosoemarno, sembari aktif dalam kegiatan sosial.

Di tengah kekacauan itu, mereka tetap berpegang pada satu hal: kemanusiaan. Tapi di mata sebagian orang, mereka tetap “asing” kulit putih di antara darah dan tanah merah revolusi.

Dihadang, Dihina, tapi Tak Mundur

Suatu pagi di Malang, tiga serdadu KNIL datang menenteng senapan ke rumah tempat mereka membantu pengungsi.

“Apa kalian tak bisa dapat lelaki Belanda,” ejek mereka, “sampai harus menikah dengan orang Indonesia?”

Annie menatap lurus mata mereka, wajahnya pucat tapi teguh.

“Kami tidak menikah dengan bangsa. Kami menikah dengan hati.”

Hening. Para serdadu itu pergi, tapi hinaan itu melekat selamanya.

Tak lama, Betsy ditangkap di Jember, dicurigai mata-mata Republik. Dua hari interogasi tanpa makan, tanpa tidur. Tapi ia tetap tak menyerah, hingga akhirnya dibebaskan.

Sejak itu, surat dari keluarga di Amsterdam berhenti datang. Mereka dicap “verrader” pengkhianat bangsa sendiri. 

Namun mereka memilih diam. Karena bagi mereka, pengkhianatan terhadap penjajahan adalah bentuk tertinggi kesetiaan pada kemanusiaan.

Tanah Air Baru di Bawah Merah Putih

Ketika Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia pada akhir 1949, keempat perempuan itu tak pernah kembali ke tanah kelahiran mereka. Dolly menetap di Solo, menjadi tokoh sosial budaya dan hidup hingga usia lanjut.

Annie dan Miny tetap mengabdi di Palang Merah Indonesia, menolong korban perang dan bencana.

Betsy hidup tenang di Banyuwangi, membangun keluarga bersama Djumiran.

Mereka tetap menjadi “orang asing” di tanah yang mereka pilih, tapi mereka tak pernah menyesali keputusan itu.

“Indonesia adalah tanah air kami,” ujar Dolly di usia senjanya.

“Di sini kami lahir kembali, bukan sebagai Belanda… tapi sebagai manusia yang merdeka.”

Sumber:

Hilde Janssen, Enkele Reis Indonesië (Marjin Kiri, 2017)

Wawancara BBC Indonesia dengan Dolly Zegerius (2016)

Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Sejarah Palang Merah Indonesia

Facebook, Catatan Sejarah Dunia

Lebih baru Lebih lama