![]() |
| Oleh :dr. Akbar Kapissa Baharsyah, Residen Bedah FK Unhas / Ex Direktur LKMI HMI Cabang Makassar Timur |
Tahun ini Ikatan Dokter Indonesia (IDI) genap berusia 75 tahun. Tema peringatan nasionalnya, “IDI Berkarya, Membangun Kesehatan Bangsa,” menjadi cermin perjalanan panjang profesi dokter dalam menjaga kesehatan masyarakat sejak masa kemerdekaan. Namun di tengah gegap gempita usia emas ini, ada satu refleksi penting yang perlu kita sampaikan: sudahkah IDI benar-benar hadir dan dekat dengan masyarakat — terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat kota dan fasilitas besar?
Ketimpangan yang Masih Terasa di Maluku Utara
Di Maluku Utara, persoalan klasik yang belum tuntas adalah pemerataan dokter. Pulau demi pulau, dari Halmahera hingga Morotai, masih banyak wilayah yang belum memiliki dokter tetap. Ada puskesmas yang hanya dikunjungi dokter seminggu sekali, bahkan ada yang bergantung pada bidan dan perawat untuk layanan dasar. Sementara di kota besar seperti Ternate, dokter justru menumpuk dan saling bersaing di rumah sakit swasta.
Padahal, menurut semangat awal lahirnya IDI pada 24 Oktober 1950, profesi ini bukan sekadar soal gelar dan praktik, melainkan pengabdian untuk menjaga harkat hidup manusia. Artinya, ketika ada warga di pulau terpencil yang tak bisa berobat karena tak ada dokter, di sanalah idealisme IDI diuji — bukan di ruang seminar, tapi di ruang tunggu pasien yang sepi.
IDI Harus Lebih Dekat dengan Masyarakat
Memasuki usia ke-75, IDI harus keluar dari kesan eksklusif dan lebih dekat dengan masyarakat. Khususnya IDI cabang di daerah, perannya bukan hanya sebagai wadah profesi, tetapi juga motor sosial yang menjemput persoalan kesehatan langsung ke lapangan.
Kegiatan pengabdian masyarakat, bakti sosial, dan pelayanan kesehatan tidak boleh lagi menjadi sekadar kegiatan seremonial tahunan, tetapi harus menjadi gerbong utama gerakan IDI. Gerbong yang menarik para dokter muda, mahasiswa kedokteran, dan relawan kesehatan untuk turun langsung ke masyarakat desa, pesisir, dan daerah industri.
Bayangkan jika setiap cabang IDI di Maluku Utara memiliki agenda rutin “Dokter Masuk Desa” atau “Klinik Pulau Sehat” — di mana para dokter turun ke pulau-pulau kecil, memberi layanan, edukasi, dan memetakan masalah kesehatan masyarakat.
Kegiatan semacam ini bukan hanya menyembuhkan penyakit, tapi juga menyembuhkan jarak sosial antara dokter dan rakyatnya.
Membangun Sistem yang Adil dan Berkelanjutan
Masalah pemerataan dokter di Maluku Utara tidak akan selesai hanya dengan idealisme. Dibutuhkan kebijakan yang berpihak dan sistem yang menjamin keberlanjutan.
Pemerintah provinsi dan kabupaten harus bekerja sama dengan IDI untuk membangun pola retensi dokter di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Insentif yang manusiawi, fasilitas tempat tinggal, pendidikan anak, hingga akses internet yang layak — semua menjadi bagian dari strategi mempertahankan dokter agar betah di tempat tugas.
Namun di sisi lain, IDI juga punya tanggung jawab moral: menumbuhkan jiwa pengabdian di kalangan dokter muda. Melalui pendidikan kedokteran berbasis komunitas, mentorship dari senior, hingga program beasiswa “putra daerah” untuk mahasiswa asal Halmahera, Sula, atau Morotai yang kelak kembali membangun kampung halamannya.
Refleksi: Dari Kota ke Pulau
Sebagai putra daerah Halmahera, saya melihat bahwa pembangunan kesehatan di Maluku Utara tak bisa hanya terpusat di Ternate atau Sofifi. Weda, Taliabu, dan Obi juga punya hak yang sama untuk menjadi rumah bagi tenaga medis terbaik. Kita tidak bisa bicara tentang “kesehatan bangsa” jika sebagian rakyatnya masih harus menyeberangi laut hanya untuk mendapatkan akses layanan spesialistik Umum.
IDI yang berusia 75 tahun ini perlu menegaskan diri bukan sekadar organisasi profesi yang kuat di pusat, tetapi organisasi yang hidup di daerah. Yang hadir di tengah masyarakat, menyentuh yang kecil, mendengarkan yang jauh, dan memperjuangkan yang belum terdengar.
Penutup: Gerbong Pengabdian, Gerakan Kemanusiaan
Dalam usia yang matang ini, IDI diharapkan menjadi gerbong besar pengabdian kemanusiaan. Gerbong yang membawa semangat gotong royong dan solidaritas profesi untuk menembus batas-batas geografis dan birokrasi.
Karena sejatinya, dokter bukan hanya penyembuh penyakit, tetapi juga penjaga martabat hidup manusia.
Selamat HUT ke-75 untuk Ikatan Dokter Indonesia. Semoga setiap dokter di Maluku Utara dari kota sampai pulau bisa menjadi pelita kecil yang menerangi gelapnya akses kesehatan.
Dan semoga IDI terus melaju, tidak hanya di jalur profesionalisme, tapi di jalur kemanusiaan yang sejati: mendekat, melayani, dan membangun.(*)
