![]() |
Visiting research fellow Iseas-Yusof Ishak Institute, Singapura Made Supriatma |
COGOIPA.ONLINE- Para elit mulai menginsinuasi bahwa keracunan MBG adalah karena ada sabotase. Mereka memang tidak menuduh secara langsung. Tapi idenya diajukan sehingga orang diharapkan orang percaya ada gerombolan yang mau mensabotase program mulia pemerintah ini.
Namun benarkah demikian? Ini seperti 'tidak pandai menari, lantai yang dituduh berjungkit.' Namun insinuasi sabotase ini sebenarnya ingin mengalihkan tanggungjawab kepada sesuatu yang tidak ada dalam kenyataan. Sama seperti pada bulan-bulan September seperti ini para penguasa negara ini membangun narasi 'komunis' sebagai biang penyakit negara ini.
Dengan cara demikian, para elit ini menghindar dari tanggungjawab atas kebijakannya sendiri. Kegagalan adalah karena sabotase pihak lain. Kebijakan Makan Bergizi Gratis ini adalah mulai, bagus, dan berjalan dengan baik.
Selain menginsinuasi, sebagian elit juga meremehkan kasus makan beracun ini. Kepala BGN mengatakan secara angka anak yang keracunan sangat kecil ketimbang jumlah makanan yang disajikan. Untuk dia, dari satu milyar porsi yang disajikan yang beracun hanya sekitar 7 ribu saja (angka terakhir) itu rasionya sangat kecil.
Betul itu kecil. Tapi apakah ini bisa diukur secara statistik belaka? Bukankah ada resiko nyawa anak-anak didalamnya?
MBG ini adalah proyek besar. Sangat besar. Selain besar juga sangat egoisentris. Maksud saya, Prabowo membuat program ini tanpa mau melibatkan apa yang sudah ada. Dia mau jalan sendiri dengan orang-orang yang loyal dan bisa dia kontrol.
Sehingga tidak heran bahwa orang-orang partainya dan purnawirawan militer ada disana. Bahkan ada bekas anggota Tim Mawar juga duduk di BGN dan duduk sebagai deputi pengawasan dan pemantauan. Bukankah ini adalah kedeputian yang paling bertanggungjawab untuk mencegah keracunan?
Program ini tidak melibatkan sekolah. Tidak melibatkan para guru. Tidak melibatkan orangtua murid. Tidak melibatkan pemerintahan di daerah-daerah dengan segala tingkatannya. Padahal orang-orang ini yang sudah bekerja bertahun-tahun di wilayahnya dan tahu persis masyarakatnya.
Saya tidak tahu apa pertimbangan untuk mengesampingkan para stake-holder (ya, stake-holder!) yang paling berkepentingan terhadap program ini. Apakah takut di korupsi? Weh, coba kita lihat siapa pengelola SPPG itu? Siapa dibalik yayasan-yayasan itu? Apakah pengelolaan SPPG itu motifnya hanya nasionalisme yang membuncah dan bukan keuntungan?
Di bawah pemerintahan ini semua serba terpusat, terkomando, dan terkonsentrasi. Kalau kita belajar dari Orde Baru, justru gaya memerintah seperti ini akan menghasilkan kroni-kroni. Dari kroniisme akan lahir kolusi. Dan dari kolusi akan lahir korupsi. Semua ini akan menciptakan rantai ekonomi rente -- ekonomi yang hanya berputar di kalangan para kroni (anggota DPR, pengurus partai, militer, polisi, agamawan, akademisi, yang mau menjadi kaki tangan rejim). Tidak ada manfaatnya untuk masyarakat lokal!
Bisa kita bayangkan program yang akan menghabiskan dana Rp 1,2 trilyun per hari ini akan berputar di kalangan para kroni saja. Supplier-supplier akan memberikan upeti-upeti. Bisa Anda bayangkan kalau mendapat 10% saja dari 1 milyar kotak susu? Itu akan disalurkan hanya pada pintu-pintu yang terbatas. Bila MBG di kelola sekolah dan orangtua murid, para supplier ini harus berhadapan dengan jutaan pintu.
Tidak efisien? Iya. Tapi juga mencegah kemungkinan korup. Jika ada keracunan pun, yang bertanggungjawab adalah orangtua dan sekolah. Tidak seperti sekarang. Kalau murid-murid keracunan, sekolah yang kelabakan.
Yang juga susah dimengerti, mengapa semua anak harus makan makanan dari BGN? Saya sering sekali mendengar cerita orang tua murid yang sekarang membekali anaknya dengan tas plastik. Untuk apa? Untuk menyimpan MBG yang tidak dimakan karena tidak enak dan takut keracunan. Pernahkah dihitung berapa makanan terbuang dari MBG?
MBG akan menjadi ekonomi dalam skala raksasa. Karena itu tidak masuk akan kalau dilakukan dalam pola sekarang ini. Tidak bisa tidak, ia harus terdesentraliasasi. Ia harus dibikinkan pilot projectnya. Ia harus dimulai dengan pembuatan makanan berbasis komunitas -- melibatkan orangtua murid, perwakilan guru, sekolah, dan masyarakat sekitar.
Apakah pemerintah ini akan kesana? Saya ragu. Lebih mudah mengerahkan militer untuk membuat dapur dan mengelolanya. Tidak enak, tidak masalah. Keracunan makanan? Itu kecil. Tidak suka dan dibuang sebagai sampah? Terserah. Yang penting sudah dibuat.
MBG adalah program mahal yang hanya berguna untuk orang-orang yang mendukung kekuasaan. Bahkan sekarang anak-anak pun tidak mau menyantapnya. Tapi ada yang untung besar
Laporan-laporan tentang keracunan makanan pada siswa-siswi sekolah akibat makan bergizi gratis terus berdatangan. Semakin hari jumlahnya semakin bertambah. Banyak pihak menyerukan agar program ini dihentikan saja. Ada yang menyarankan untuk sementara, ada juga yang ingin ditutup permanen dan dicari cara lain untuk memberi makanan sehat kepada anak-anak Indonesia.
Pihak pemerintah rupanya tetap kukuh pada pendirian. Ini adalah program bagus. Keracunan itu sangat kecil jumlahnya. Kepala BGN dan Presiden menyebut banyak angka di belakang nol koma. Yang memperlihatkan betapa tidak signifikan keracunan ini.
Disisi lain, para politisi mengembuskan isu ada sabotase. Ada orang-orang yang dengan sengaja ingin program ini gagal. Saya tidak mengerti darimana pikiran ini datang. Aparat keamanan Indonesia sangat cepat tanggap menangkap para para aktivis dan menjadikan mereka tahanan politik. Mengapa aparat-aparat yang sama seolah letoy sotoy menghadapi orang-orang yang dituduh ingin menyabotase program ini?
Pihak BGN juga kelihatan amat defensif. Deputi BGN Nanik Deyang menangis di depan TV nasional. Seolah itu akan menyelesaikan persoalan. Namun kejadian keracunan berulang lagi dan lagi.
Presiden Anda dengan tiba-tiba akhir-akhir ini rajin meneriakkan korupsi. Slogan-slogan anti korupsi dipasang di mana-mana. Semua orang tahu bahwa korupsi itu jahat. Dan semua orang tahu bawah koruptor itu melekat bagai lintah ke kekuasaan. Mereka yang tidak punya kekuasaan ya tidak bisa korupsi. Ya kan?
Persoalannya kemudian adalah mengapa soal keracunan ini selalu terjadi? Saya melihat masalahnya justru ada pada desain kebijakan MBG ini sendiri. Problemnya terletak di dalam BGN itu sendiri dan pelaksanaan MBG.
Ketika program ini diluncurkan, Presiden membentuk Badan Gizi Nasional. Ini adalah badan yang sama sekali baru. Ia memiliki pimpinan dan banyak deputi — isinya bukan orang-orang ahli gizi melainkan orang kepercayaan Presiden. Deputi-deputinya kebanyakan adalah orang-orang kepercayaan Presiden dan banyak diantaranya militer, termasuk salah satu anggota Tim Mawar yang pernah terlibat penculikan. Mereka semua orang kepercayaannya Presiden.
Dengan membuat BGN, Presiden mem-by pass birokrasi yang ada. BGN akan menjadi sebuah birokrasi tersendiri. Ada 30,000 Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI). Ini adalah tenaga yang akan mengelola Satuan Pemenuhan dan Pelayanan Gizi, yang mengelola dapur untuk memasak makanan.
30,000 SPPI itu belum termasuk pegawai pendukungnya. Oh ya, SPPI ini sebelum bertugas diberi pelatihan militer selama 3 bulan. Mereka adalah juga Komponen Cadangan.
Jadilah BGN sebuah badan dengan birokrasinya sendiri. Sementara kementrian-kementerian tidak disertakan. Tidak juga pemerintah daerah. Juga tidak sekolah dan para guru. Yang terakhir, orang tua murid pun tidak diminta pertimbangan. Pokoknya penerima manfaat terima beres!
SPPG itu ditentukan oleh BGN. Yayasan atau perusahaan katering bisa mengajukan permohonan menjadi pengelola SPPG. BGN akan menentukan lokasinya dan cakupan wilayah pelayanannya.
Nah, seperti yang mudah Anda duga, motif menjadi SPPG adalah keuntungan yang sebesar-besarnya. BGN menentukan harga seporsi makanan. Dan tentu pengelola SPPG, yang kebanyakan kabarnya tidak tahu apa-apa tentang industri makanan ini berusaha meminimalkan beaya dan meningkatkan keuntungan.
Kualitas kemudian menjadi masalah. Bahkan sebelum kasus keracunan ini saya mendengar para orang tua murid membekali anak-anak mereka dengan kantong plastik untuk menyimpan jatah MBG dan makan makanan yang dibawa dari rumah.
Saya menduga demikian buruknya kualitas makanan yang disajikan kepada anak-anak Indonesia sehingga tidak ada satu pejabat pun yang mau ikut memakannya. Padahal, Anda mungkin sudah tahu kelakuan para elit dan pejabat negeri ini yang kerjaannya ngonten siang dan malam. Memang ada satu dua berusaha bikin konten tapi dengan makanan yang jauh berbeda dari yang dimakan anak-anak Indonesia.
Program ini jelas bukan yang demokratis dan partisipatif. Bagaimana mungkin memberi makan anak orang tanpa mengajak orang tuanya bicara? Bagaimana mungkin membuat program untuk anak-anak sekolah tanpa melibatkan guru-guru mereka? Tanpa melibatkan komunitas mereka?
Mengapa harus membuat badan tersendiri sementara ada banyak ASN yang juga cukup terampil dalam menjalankan program-program seperti ini? Ada banyak ASN dengan kemampuan dan dedikasi yang sangat bisa menjalankan program seperti ini. Apa yang ditakutkan? Korupsi? Apa tidak ada bau korupsi dari hidangan beracun yang disajikan kepada anak-anak Indonesia?
Saya kira program ini memang harus dihentikan dan diubah mekanisme pelaksanaannya. Pesantren-pesantren memasak ribuan porsi tiga kali sehari tanpa ada masalah. Kantin-kantin sekolah memberikan makanan sehat dan berkualitas kepada anak-anak tanpa ada masalah. Juga ada sekolah yang menyelenggarakan program semacam ini secara swadaya bertahun-tahun tanpa masalah juga?
Mengapa pemerintah tidak mau membuat sistem seperti grant kepada sekolah dan voucher kepada anak-anak yang kurang mampu saja sehingga beayanya tidak semahal dan semegah sekarang tapi hasilnya sangat tidak maksimal?
BGN mungkin tidak menjadi pelaksana seluruh program ini. Saya kira BGN seharusnya hanya menjadi lembaga standardisasi saja. Tugasnya menetapkan standar gizi dan menyatakan apakah makanan yang disajikan memenuhi standar gizi atau tidak.
1.2 triyun sehari, uang yang kabarnya akan dibelanjakan BGN untuk MPG per hari rasanya keterlaluan banyaknya. Itu kalau kita memang mau memberi makan makanan yang sehat dan bergizi untuk anak-anak Indonesia. Kecuali kalau ini adalah proyek politik. Kalau demikian halnya, tidak ada lagi yang bisa kita perdebatkan.
Oleh Made Supriatma