Ratu MBG: Omong Kosong MBG Menumbuhkan Ribuan UMKM

Foto diambil dari Facebook Penulis Made Supriatma 

Yasika Aulia Ramadhany adalah seorang mahasiswi. Usianya baru 20 tahun. Masih sangat muda. Namun tidak seperti mahasiswi pada umumnya, ia bisa digolongkan sebagai "pengusaha." Ia memiliki 41 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Ini adalah istilah dari dapur MBG. 

Dapur SPPG miliknya tersebar di empat kota di Provinsi Sulawesi Selatan: 16 di Kota Makassar, 3 di Parepare, 2 di Gowa, dan 10 di Kabupaten Bone. SPPG itu dikelola oleh yayasan-yayasan secara formal namanya berbeda-beda. Namun sebenarnya "pemilik" yayasan tersebut hanya satu, yang diakuinya sebagai Yayasan Yasika Group. 

Tentu ada pertanyaan disini. Mengapa yayasan bisa berubah menjadi badan usaha? Saya tidak tahu jawabannya. Yang jelas, dari beberapa data yang pernah saya dapati, sebagian besar SPPG itu dikelola oleh yayasan. Dan sebagian besar nama yayasan itui berbau yayasan keagamaan. 

Di daerahnya, Yasika Aulia bukan orang sembarangan. Dia adalah putri dari wakil ketua DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Yasir Mahmud. Ayahnya itu adalah politisi Partai Gerindra, partai yang sekarang berkuasa. Mereka berasal dari Bone. 

Selama ini, kita tahu bahwa MBG itu dijalankan oleh Badan Gizi Nasional (BGN). Ia program yang tersentralisasi. BGN merekrut para pengelola SPPG dengan persyaratan yang lumayan ketat terutama dari sisi permodalan. Satu SPPG mendapat beaya sebesar rata-rata Rp 10 milyar per tahun. 

Namun sebelum membuka SPPG, pemodal yang adalah individu, perusahan, atau yayasan, harus menyediakan dana awal untuk pembuatan dapur yang syaratnya lumayan ketat. Satu dapur memerlukan beaya awal sekitar Rp 1,5 milyar untuk penyedian bangunan, dapur, dan lain-lainnya. 

Setiap SPPG idealnya melayani sekitar 3,000 hingga 3,500 siswa. Jadi dapur MBG dari Yayasan Yasika Group ini melayani antara 123,000 hingga ke 143,500 murid. 

Kita tahu bahwa setiap porsi makanan dari dapur MBG ini dihargai Rp 15,000. Dari beaya itu, untuk makanan dianggarkan Rp 10,000. Rp 3,000 untuk beaya dapur dan Rp 2,000 itu adalah keuntungan pemilik SPPG. Jadi sebenarnya investasi di SPPG ini cukup menggiurkan karena menghasilkan return sekitar 13,3%. Ini lebih dari dua kali lipat daripada menaruh uang Anda dalam bentuk deposito di bank.

Yayasan Yasika Group ini menghabiskan kurang lebih Rp 61,5 milyar untuk mendirikan 41 dapur SPPG. Angka itu akan bertambah Rp 4,5 milyar lagi jika 3 dapur yang dipersiapkan mulai beroperasi. Ini adalah angka-angka yang cukup fantastis bukan? 

Lalu berapa keuntungan yang didapat? Ombudsman mengatakan bahwa 1 porsi MBG memberikan keuntungan sebesar Rp 2,000 kepada pengelola atau pemodalnya. Yasika Group yang melayani 123,000 hingga 143,500 muird atau porsi tersebut potensial meraup keuntungan sebesar Rp 246 juta hingga 287 juta per hari. Keuntungan per bulannya bisa mencapai antara Rp 4,92 milyar hingga Rp 5,74 milyar per bulan. Dengan asumsi batas rendah murid yang dilayani hanya 123,000 murid/porsi. 

Saya bisa bayangkan dengan ekonomi skala sebesar itu, Yayasan Yasika Group jika efisien bisa menekan beaya produksi makanannya. Ia bisa mendapatkan harga beras atau bahan baku lain lebih murah dari harga pasar karena membeli dalam skala sangat besar. Bahkan, di kemudian hari, bukan tidak mungkin Yayasan Yasika Group akan merambah ke sektor hilir yakni dengan memproduksi sendiri apa yang ia butuhkan. 

Anda marah dengan kenyataan ini? Kalau saya tidak. Tepatnya, saya berusaha tidak marah. Saya mencoba mengambil posisi seperti para kapitalis dimana pun di muka bumi ini (note: saya ru saja nonton film ttg Milton Friedman yang pro pasar bebas). Yaitu bahwa "greed is good for the economy" atau serakah itu baik untuk ekonomi.  

Ini adalah sistem 'survival of the fittest' mengambil istilah Charles Darwin. Siapa yang kuat, dia yang menang. Siapa yang kuat, dia yang berkuasa. Siapa yang berkuasa, dia menguasai segalanya. 

Omong kosong kalau program MBG ini akan menumbuhkan ribuan UMKM. Saya sering mendengar keluhan bahwa UMKM tidak bisa masuk karena tidak bisa memenuhi syarat modal untuk membuat dapur dan persiapan-persiapan lainnya. Juga omong kosong bahwa UMKM akan menjadi supplier. Para pengelola MBG -- khususnya yang serius hanya mencari duit dan tidak dengan kolusi atau korupsi -- akan mencari jalur ekonomi yang paling efisien. Mereka akan mencari pemain-pemain besar yang juga bisa membuat suplai ke SPPG efisien. 

Tentu saja, yang terbanyak adalah bekerjanya mekanisme kolusi dan rente. Di dapur-dapur yang dikelola pengusaha, sudah antre pejabat-pejabat sipil, militer, atau polisi mengajukan diri menjadi supplier. 

Apakah mereka benar menjadi supplier? Ya jelas tidak. Mereka akan menyuruh pengusaha beneran atau pengusaha jadi-jadian untuk menjadi supplier dengan harga yang lebih mahal. Selisihnya dibagi anttar mereka saja. Inilah yang dinamakan rente. 

Lalu pemilik MBG mengamankan Rp 2,000 per porsi jatahnya; Rp 3,000 untuk operasional dapur. Karena rente ekonomi membengkakan beaya, dari mana mereka menutupinya? Ya dengan mengurangi kualitas makanan. Yang Rp 10 ribu menjadi Rp 8 ribu saja. Atau bahkan kurang. 

Yayasan seperti punyanya Yasika itu bisa hidup dan terus berekspansi karena kesalahan desain kebijakan MBG. Program ini punya tujuan awal yang mulia: memberantas stunting dan memperbaiki gizi anak-anak Indonesia. 

Apakah semua anak Indonesia itu stunting dan butuh perbaikan gizi? Jelas tidak. Data tahun 2024 menunjukkan hanya 4,4 juta anak atau 19,8% anak-anak Indonesia mengalami stunting. Jadi yang perlu MBG sebenarnya ya hanya 4,4 juta itu. 

Sebaliknya, dari data tahun 2023, 19,7% pada anak usia 5-12 tahun dan 16% pada anak usia 13-15 tahun mengalami prevalensi kegemukan atau obesitas. Dengan kata lain, mereka kelebihan nutrisi. Bukan kekurangan. 

Lalu mengapa semua anak sekolah harus menyantap MBG? Ada argumen yang mengatakan, seperti di Jepang, kita harus memberikan anak-anak kita makanan yang bernutrisi. Tapi dari banyak makanan MBG yang beredar kadar nutrisi makanan anak-anak itu sama sekali tidak dalam standar. Juga tidak ada dimensi pendidikan tentang kadar gizi ini. Bahkan ada anggota DPR yang dengan sintingnya mengatakan bahwa MBG tidak perlu ahli gizi (nutritionist). 

Jika demikian halnya, mengapa program ini menyasar 82,5 juta anak -- yang sebagian besar tidak butuh nutrisi tambahan? Bukankah yang mereka butuhkan sebenarnya guru-guru berkelas yang dibekali metode pengajaran yang baik, buku-buku, film, laboratorium-laboratorium, serta tempat-tempat prakterk yang baik?

Saya masih belum menemukan jawaban mengapa program ini sangat terkomando, sentralistik, menyasar sedemikian besar anak-anak yang tidak memerlukannya, dan menutup pintu dari keragaman pangan lokal, memajukan kepentingan tentara dan polisi, serta orang-orang dengan modal kuat? 

Dalam pikiran saya, hanya satu yang masuk akal: program yang demikian besar ini adalah sebuah program "bancakan politik," dari elit, oleh elit, dan untuk keuntungan elit juga. Yayasan Yasika tidak akan bisa memiliki 41 SPPG (dan akan bertambah) jika Yasika bukan putri seorang politisi dari Gerindra. 

Sejauh yang saya perhatikan, dengan wawancara di banyak tempat, banyak sekali (kemungkinannya malah sebagian besar) pengelola SPPG adalah para politisi, politisi partai, para 'old money' di daerah-daerah maupun di pusat, serta tentu saja polisi dan militer. 

Republik ini adalah milik oligarki. Biar pun para politisi itu berteriak sampai serak bilang mereka pro rakyat. Kenyataannya sangat bertolak belakang. 

Dan, kita rakyat selalu berada pada posisi buntung: kitalah yang membeayai proyek MBG ini lewat pajak yang dipungut secara bertubi-tubi itu. Hanya untuk menggemukkan pundi-pundi mereka yang sudah teramat gendut itu. 

"Serakah itu bagus untuk ekonomi." Tidak pernah dikatakan tapi dipraktekkan secara murni dan konsekuen. Hanya untuk ekonomi yang berpihak pada oligarki itu.(*)

Lebih baru Lebih lama