Drama Ijazah

Gambar ini diambil dari Facebook Penulis Made Supriatma 

Akhirnya Polda Metro Jaya menetapkan delapan tersangka dalam kasus tuduhan ijazah palsu terhadap Presiden Joko Widodo. Mungkin ini akan jadi babak baru dalam silang sengkarut ijazah sang mantan presiden ini. 

Seberapa pun membosankan persoalan ini, dengan saling serang dan saling memanfaatkan yang tidak bermutu sama sekali, kemudian ia masuk ke ranah hukum. Sebagai orang yang muak dengan soal remeh temeh yang mengalihkan perhatian kita untuk bicara hal-hal lebih serius, saya hanya bisa bilang: Bagus! Selesaikan di pengadilan. 

Itu jauh lebih baik daripada bersengketa di media sosial tanpa ujung pangkal. Dan pihak yang bersengketa berusaha (1) menjadikannya semacam entertainment -- lengkap dengan suspense dan kejutan; serta (2) masing-masing pihak berusaha membangun popularitas, yang suatu saat ini pasti ada gunanya. 

Para nemesis (lawan) Jokowi telah mendapatkan popularitas dari kasus ini. Mereka mengeluarkan informasi tentang kejanggalan-kejanggalan ijazah presiden yang juga mantan walikota Solo ini. Semua dikeluarkan sedikit demi sedikit. 

Dalam hal ini, saya kira mereka cukup berhasil menyemai keraguan akan keaslian ijazah itu. Banyak orang yang tadinya yakin bahwa ijazah itu asli kemudian mempertanyakan kembali keyakinannya. Benarkah itu asli? 

Dan, kemudian banyak mengikuti arus ini. Ada orang yang mengaku mengurus semua ijazah untuk calon-calon PDI-P yang hendak maju ke pemilihan legislatif dan eksekutif. Dan ijaza-ijazah itu dibeli di Pasar Pramuka, Jakarta. Konon disana ada spesialis yang membuat ijazah dari universitas apa saja, di bidang apa saja, dengan gelar apa saja!

Mantan Presiden Jokowi sendiri tahu ini. Dia adalah seorang politikus yang amat pintar dan licin. Karakter Jokowi adalah tenang dan tidak pernah memperlihatkan apa yang menjadi perasaannya. Langkah-langkah politiknya tidak pernah terlihat jelas. Ia hanya melontarkan kode dan simbol dan membiarkan orang menafsrikannya sendiri. Dengan demikian, ia sesungguhnya memegang kontrol atas jalannya narasi. 

Tidak ada presiden Indonesia yang punya karakter seperti Jokowi kecuali satu orang: Soeharto. Politik kedua orang ini adalah seperti "a reverse hidden transcipt." Biasanya 'hidden transcript' dilakukan oleh orang-orang kecil untuk melawan penguasa dengan membangun narasi, ide, cerita yang tersamar dan tidak ditampakkan di depan wajah penguasa. 

Saya kira, baik Jokowi dan Soeharto sangat mahir memakai hidden trasncript terbalik ini untuk kepentingan kekuasaanya dan mematikan resistensi. Ingat, kalau Anda menjadi penguasa, Anda tidak bisa selamanya duduk diujung bayonet kan? 

Mengapa Jokowi akhirnya memakai mekanisme hukum untuk kasus ijazah ini? Ada banyak penjelasan yang saya dengar. Ada yang mengatakan bahwa keluarganya (istri dan anak-anaknya) gerah dengan isu yang tidak pernah hilang ini. Ada yang mengatakan bahwa ia sudah tersudut. 

Saya punya pandangan lain. Ini adalah gerakan strategis (strategic moves) oleh Jokowi. Dia tahu bahwa isu ijazah ini berguna untuk dirinya. Isu ijazah ini membuat dia tetap relevan. Popularitas itu, baik atau buruk, tetaplah popularitas. Dia juga tahu persis bahwa masih cukup banyak orang mendukungnya sekalipun dia dihantam sana sini. 

Langkah strategis ini juga punya tujuan jangka panjang. Pertama, dia bisa menunjukkan pada pendukung-pendukungnya bahwa ia masih bisa melawan. Ini berpengaruh pada moral pendukungnya. Itu bisa dilihat dari semakin intensnya pendukung-pendukung Jokowi keluar untuk membelanya. 

Kedua, jika ia bisa memadamkan isu ini, maka ia akan bisa pula memadamkan isu ijazah dan pendidikan yang menimpa Gibran, anak sulungnya yang dipasangnya mendampingi Prabowo sebagai Wapres, sebagai ganti dukungannya kepada Prabowo. Dengan memakai jalur hukum dan memasukkan para penggugagtnya ke penjara, dia berharap orang akan takut untuk melakukan hal yang sama kepada Gibran, juga mungkin Kaesang, dan Bobby -- anak mantunya yang sekarang berpolitik. 

Ketika mendengar kasus ini, saya bertanya pada diri saya sendiri: kalau kamu jadi pembela orang-orang ini, apa yang akan kamu lakukan? 

Saya bukan advokat -- jadi saya tidak punya keahlian membela berdasarkan hukum positif yang berlaku. Namun lewat akal sehat (common sense), saya melihat bahwa kasus ini tidaklah rumit. Orang-orang yang memainkannya membuatnya rumit. 

Kalau saya membela para terdakwa ini, saya akan menuntut dua hal. Pertama, apakah orang yang di foto ijazah itu adalah orang yang sama dengan Jokowi sekarang? orang di ijazah itu berkacamata besar -- hampir menutupi seluruh muka bagian atasnya. Pertanyaannya: Jika itu adalah Jokowi, mengapa matanya kabur hanya pada saat dia foto di ijazah saja? Perbandingan foto-foto Jokowi masa itu mungkin bisa menolong. 

Yang dibutuhkan adalah uji forensik (bukan tele-telean yang nggak masuk di akal itu) foto itu. Juga harus ada ophthamologist yang menjelaskan mengapa Jokowi saat itu berkacamata dan sekarang tidak. Jokowi harus memberikan keterangan apakah dia sekarang memakai contact lens? Seberapa besar kekurangan matanya dulu dan sekarang? Mengapa dia tidak berkacamata sekarang? 

Kedua, masih dengan ahli forensik. Mereka harus membuat penyelidikan tentang ijazah itu sendiri. Mereka bisa membandingkan dengan ijazah orang yang tamat dan diwisuda bersama Jokowi dari Fakultas Kehutanan UGM. Ahli forensik bisa membandingkan kertasnya, membandingkan tinta yang dipakai, membandingkan huruf, dan membandingkan tanda tangan yang ada di ijazah Jokowi dengan yang lainnya. 

Lolos dari kedua ujian ini akan membuat Jokowi bisa mengatakan bahwa dia dihina secara sengaja. Jika tidak, maka kasus defamasi ini harus digugurkan dan Jokowi yang harus diperiksa. 

Ah, saya ternyata menambah kontroversi kasus yang nilainya rendah ini. Tapi sudahlah. Kasus ini harus segera diselesaikan karena tampaknya mereka yang berkuasa sekarang pun ingin memperpanjangnya untuk mengalihkan perhatian dari sulitnya hidup sehari-hari kita. Nah, kasusnya akhirnya lebih dalam dari yang kita kira.(*)

Lebih baru Lebih lama