Arsitek Di Balik Malam Gala Dinner Pengurus Besar Fagogoru

Ditulis oleh Redaksi COGOIPA.ONLINE

Sabtu malam, 11 Oktober 2025, di bawah langit Weda yang bertabur bintang, Pendopo Falcino menjadi saksi bisu sebuah peristiwa yang tidak sekadar hidangan mewah dan alunan musik. Ia menjadi altar rekonsiliasi, tempat di mana luka-luka lama dari pertarungan politik disembuhkan oleh senyum, jabat tangan, dan semangat kebersamaan yang jauh lebih perkasa. Malam itu, Gala Dinner Pengurus Besar Fagogoru bukan hanya sebuah acara, melainkan sebuah mahakarya menyatukan hati.

Suasana haru seolah menyelimuti setiap sudut pendopo. Di sana, duduk berdampingan para tokoh yang hanya setahun silam masih berseberangan dalam kancah Pilkada 2024 yang sengit. Ada Edi Langkara dan Abd Rahim Odeyani, yang dahulu berjuang mengibarkan bendera harapan mereka. Berhadapan dengan mereka, duduk dengan tenangnya Ikram Malan Sangaji dan Ahlan Jumadil, sang rival yang kini telah menjadi sahabat sebangsa. Lalu, ada Bahri Sudirman, sang Penjabat Bupati waktu itu yang menjadi penentu peta kekuasaan. 

Mereka adalah para gladiator yang pernah bertarung di arena demokrasi, dengan strategi, argumen, dan mungkin juga luka. Namun, pada malam itu, dentuman halus musik yang ere dan gemulai gerak tarian lalayon telah meluluhkan semua tembok pembatas. Saling sapa, senyum yang tulus, dan gelak tawa bersama menggantikan narasi-narasi kompetisi yang dahulu mengeras.

Namun, di balik panggung "Satukan Hati Untuk Negeri", tersembunyi seorang arsitek harmoni. Seorang maestro yang dengan kesederhanaan dan kearifannya merajut benang-benang yang sempat putus. Dialah Abd Rahim Odeyani.

Gagasan untuk pertemuan besar ini memang dicetuskan oleh Pengurus Besar Fagogoru, tetapi jiwa dari acara tersebut usulan untuk mengubahnya menjadi sebuah Gala Dinner yang khidmat dan penuh makna berasal dari Abd Rahim Odeyani. Sebagai salah satu Anggota Presidium Fagogoru, ia tidak hanya melihat acara ini sebagai kewajiban organisasi, melainkan sebagai sebuah kesempatan emas untuk  mempersatukan.

Jika Anda membayangkan seorang tokoh pemersatu dengan balutan jas necis dan aura yang menggetarkan, maka Anda keliru. Abd Rahim Odeyani hadir dengan batik yang rapi dan kacamata yang meneduhkan, membawa serta senyumnya yang khas; sebuah senyum yang tidak hanya terpancar dari bibir, tetapi dari seluruh sanubarinya. Ia adalah sosok sederhana yang justru kekuatannya terletak pada ketiadaan ego. Sebagai Wakil Bupati periode 2017-2022 dan salah satu tokoh sentral pemekaran Halmahera Tengah, ia memiliki segudang alasan untuk bersikap tinggi hati. Tetapi tidak. Ia justru menjadi jiwa yang merangkul.

Dengan langkah tenang dan penuh keyakinan, ia menyapa setiap tokoh Fagogoru, dari Weda, Patani, Maba, Wasile, hingga Gane Timur. Namun, momen paling mengharukan adalah ketika ia mendekati Ikram Malan Sangaji dan Ahlan Jumadil. Bukan sekadar jabat tangan formal yang terjadi, melainkan sebuah pelukan hangat yang menegaskan, “Perjuangan kita dulu hanyalah perbedaan warna, tapi tujuan kita tetap satu: bumi Fagogoru.” Lalu, ia pun duduk berdampingan dengan Bahri Sudirman, yang kini menjadi Sekda Halmahera Tengah. Duduk mereka bersama adalah simbol kuat bahwa dari kompetisi lalu, lahir sebuah kolaborasi untuk membangun masa depan.

Malam itu, Abd Rahim Odeyani tidak berpidato atau memberikan sambutan panjang lebar tentang persatuan. Ia justru duduk bersama sahabat lainnya mendengar dan menyimak setiap urutan acara demi acara sambil memberikan arti dan makna bahwa momentum seperti inilah yang dirindukan oleh setiap jiwa-jiwa yang melekat Ngaku Re Rasai, Budi Re Bahasa. Suatu untaian kata dari perwujudan dari falsafah “Fagogoru” yang sejati. Dalam diamnya, dalam senyumnya, dalam setiap tatapan matanya yang penuh penghormatan, ia menyampaikan pesan yang lebih dalam dari sekadar kata-kata: bahwa persaudaraan dan tanah kelahiran adalah ikatan yang jauh lebih abadi daripada segala bentuk perbedaan politik.

Gala Dinner itu pun berubah makna. Ia bukan lagi sekadar acara seremonial Pengurus Besar Fagogoru. Ia telah bertransformasi menjadi turning point sejarah kecil di Halmahera Tengah. Sebuah momen di mana para pemimpinnya memilih untuk mengubur kapak perang dan bersama-sama membajak ladang masa depan dengan cangkul persatuan. Mereka menyadari bahwa energi yang habis untuk bertarung jauh lebih berharga jika dialirkan untuk membangun bersama.

Ketika tarian lalayon tarian yang melambangkan kebersamaan dan kegotongroyongan ditampilkan, rasanya ia bukan lagi sekadar pertunjukan. Ia adalah cermin dari apa yang sedang terjadi di dalam pendopo. Setiap gerakan penari yang kompak dan harmonis seolah bercerita tentang semangat yang kini kembali menyala di hati para tokoh yang hadir. Malam itu, di Kota Weda, bukan hanya makanan yang disantap, bukan hanya musik yang didengar. Malam itu, sebuah obat luka dioleskan pada hati yang sempat terluka.

Dan di pusat dari semua itu adalah seorang Abd Rahim Odeyani, sang arsitek Gala Dinner, yang dengan kacamata dan senyum sederhananya, mengingatkan kita semua bahwa pemimpin sejati bukanlah yang paling banyak berbicara, melainkan yang paling tulus mempersatukan. Sebagai Anggota Presidium Fagogoru yang mengusulkan konsep malam Gala Dinner, ia membuktikan bahwa di tengah gemuruh politik yang kerap memecah belah, masih ada ruang bagi senyuman humanis untuk merajut kembali yang retak, menyatukan yang terpisah, dan menatap masa depan Halmahera Tengah dengan satu hati dan satu semangat: Fagogoru yang bersatu.(*)

Lebih baru Lebih lama