Oleh Akbar Muhammad: Wakil Sekretaris Partai Buruh Provinsi Maluku Utara
Menyayat hati membaca Malut Post siang ini. Bagaimana tidak? Kaum buruh sebagai penggerak ekonomi di Maluku Utara justru mendapatkan perlakuan tak adil. Mereka seharusnya mendapat tempat istimewa, namun justru ditempatkan hanya sebagai “babu”.
Padahal, angka pertumbuhan ekonomi Maluku Utara yang melonjak tinggi adalah hasil kerja, keringat, darah, bahkan kematian kami, kaum buruh. Terutama mereka yang bekerja di sektor-sektor berisiko tinggi seperti pertambangan. Setiap kenaikan PDRB, setiap peningkatan ekspor, dan setiap pujian untuk kemajuan Malut, terpancar dari sumbangsih tenaga, waktu, dan kesehatan kami. Kami yang menggerakkan roda, kami yang menanggung beban di garis terdepan.
Tetapi tragisnya, Dewan Pengupahan Provinsi Maluku Utara—yang diketuai oleh Kepala Disnakertrans Malut dan beranggotakan akademisi, APINDO, serta serikat buruh seperti SPSI dan SPN—malah menyepakati penetapan upah yang jauh dari harapan. Upah buruh Maluku Utara hanya naik tipis.
Kalau sesuai dengan simulasi PP 49, rentang pengaliannya 0.9. Dengan pertimbangan pertumbuhan ekonomi di malut lagi bagus 33,19 dan inflasinya sangat kecil -0,17. Harusnya upah buruh Maluku Utara naik 29,71% bahkan bisa sampai 30%. Ini bukan tuntutan yang ngawur, ini adalah hak yang dihitung berdasarkan formula pemerintah sendiri. Ketika formula itu menghasilkan angka yang adil, mengapa kalian mengkhianatinya? Apa ada yang lebih pahit daripada melihat hak yang seharusnya menjadi milik kita, dikurangi oleh orang-orang yang seharusnya membela kita?
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus dinikmati oleh seluruh rakyat di Malut, bukan hanya segelintir orang. Selama ini, kekayaan dari sumber daya alam Malut yang melimpah hanya mengalir deras ke kantong-kantong investor dan elit, sementara para pekerjanya terus hidup dalam tekanan. Salah satu bentuk redistribusi kekayaan negara kepada rakyat yang paling konkret dan langsung adalah dengan menaikkan upah buruh. Ini bukan sekadar angka di atas kertas, ini tentang harga diri, tentang kemampuan menyekolahkan anak lebih tinggi, tentang memperbaiki atap yang bocor, dan tentang sedikit ketenangan di hari tua.
Termasuk serikat-serikat buruh yang terlibat dalam dewan pengupahan. Kalian menyetujui alasan klasik bahwa harga barang naik dan takut akan ada PHK jika upah dinaikkan. Itu jelas menunjukkan kalian hanya jadi kaki tangan perusahaan. Argumen itu adalah senjata lama yang selalu dipakai untuk menakut-nakuti buruh, padahal kenyataannya, perusahaan-perusahaan besar di sektor tambang dan industri terus mencetak keuntungan miliaran rupiah. Kapan pernah mereka rugi? Kapan pernah mereka hengkang? Yang terjadi justru ekstraksi tanpa henti. Kalian, para wakil serikat buruh (SPSI dan SPN), seharusnya berdiri di garda depan memperjuangkan hak kami, bukan malah menjadi tameng bagi kepentingan pemodal. Juga membuktikan bahwa kalian bukanlah perwakilan buruh sejati, melainkan hanya elit serikat buruh yang mencari hidup dari organisasi buruh, jauh dari bau peluh dan debu tempat kerja.
Kalau kalian jujur, tak perlu teori ekonomi berlembar-lembar dari para akademisi. Teorinya sederhana: "Kalau upah buruh naik, mereka punya uang lebih. Mereka akan belanja. Warung hidup, pasar ramai, dan ekonomi berputar."
Uang itu tidak akan menguap atau ditabung di bank luar negeri. Uang itu akan kembali berputar di Malut sendiri. Pedagang kecil di pasar akan senang, tukang ojek dapat orderan lebih banyak, warung makan ramai pengunjung, dan pada akhirnya, semua sektor ikut merasakan dampaknya. Kenaikan upah bukan beban, melainkan investasi untuk menggerakkan ekonomi riil dari bawah.
Namun, pilihan kalian sudah jelas. Kalian memilih berpihak pada kepentingan kaum pemodal dan melanggengkan ketidakadilan. Keputusan ini harus di ingat oleh seluruh kaum buruh Maluku Utara. Semoga kalian bisa tidur nyenyak dengan keputusan yang memiskinkan ribuan keluarga buruh ini.
