COGOIPA.ONLINE- Demo terhadap polisi terjadi dimana-mana. Institusi yang seharusnya menegakkan ketertban justru menjadi sumber chaos atau ketidaktertiban.
Di beberapa tempat, TNI mencoba mengisi ruang yang ditinggalkan polisi. Namun tidak serius. Dari beberapa berita terlihat bahwa TNI membagikan minuman, makanan, bahkan uang kepada pendemo.
Presiden Prabowo, orang yang paling bertanggungjawab atas keamanan negeri ini berusaha menenangkan suasana. Dia mengecam kekerasan polisi. DIa berkunjung ke rumah alm. Affan Kurniawan. Dia berpidato, minta kepada rakyat Indonesia mempercayai pemerintahan yang ia pimpin.
Hanya satu hal yang tidak dibicarakan oleh Presiden, yang justru menjadi substansi dari semua soal ini: institusi kepolisian!
Dari sejak kemarin, dari berita yang saya ikuti, Presiden mengundang jendral-jendral tua -- yang sarat dengan masalah di masa lalu -- ke kediamannya. Dia juga mengundang kolega-kolega seangkatannya, yang juga sudah tua. Dari yang saya ketahui, semuanya adalah jendral AD.
Lagi-lagi, sepanjang pengetahuan saya, Prabowo tidak bicara kepada jendral-jendral polisi. Presiden juga tidak menyinggung kepolisian selain mengungkapkan penyesalan akan tragedi yang menimpa Affan dan berjanji untuk memproses para pelakunya.
Presiden sama sekali tidak memberikan solusi tentang apa yang akan dia lakukan terhadap institusi yang langsung berada di bawah kewenangannya ini. Kita tahu, TNI berada di bawah Kementerian Pertahanan namun kepolisian langsung berada dibawah Presiden.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Tidak banyak yang kita ketahui hingga tahap ini. Saya melihat dua kemungkinan. Pertama, kemungkinan inkompentensi di pihak Presiden Prabowo. Kita tahu bahwa presiden ini sangat tergantung pada lingkaran penasehat kecil yang ia miliki.
Dia tidak dikelilingi oleh lingkaran ahli strategi yang kuat yang bisa menavigasi kondisi politik ekonomi dan keamanan. Orang-orang kepercayaannya terdiri dari orang-orang yang relatif muda dan tidak banyak makan asam garam.
Itulah sebabnya ia mengundang para jendral tua sebayanya untuk memberi nasehat. Hanya saja orang-orang ini telah lama berada di luar pemerintahan. Mereka tidak memiliki informasi intelijen terbaru yang akurat.
Sehingga, satu-satunya yang keluar dari mulut seorang jendral tua yang hadir adalah, "ini semua ditunggangi asing." Cara berpikir yang malas dan mengabaikan akal sehat pendengarnya.
Alternatif kedua adalah bahwa memang ada design untuk meruntuhkan lembaga kepolisian. Dari lapangan terlihat bahwa polisi meninggalkan kantor-kantor mereka. Video-video memperlihatkan bahwa kantor-kantor kepolisian dibakar. Situasi sama sekali tidak terkendali.
Adakah ini usaha politik dari presiden dan kelompoknya untuk menguasai kepolisian? Lembaga ini memang sudah menjadi institusi yang sangat kuat terutama selama 10 tahun kekuasaan Jokowi. Memang ini tidak berarti bahwa Jokowi mengendalikan institusi ini.
Kepolisian menjadi institusi yang tidak bisa dikontrol. Kita ingat bahwa sepangjang Pilpres hingga Pilkada kemarin ada sebutan "Parcok" atau partai coklat. Institusi ini membantu menaikkan Prabowo-Gibran. Parcok juga diduga membantu menaikkan banyak kepala daerah terutama yang diinginkan oleh Jokowi dan Prabowo.
Sekali lagi, bukan berarti institusi ini dikuasai oleh Prabowo atau Jokowi. Istilah "partai" itu barangkali tepat. Coklat ini adalah 'partai' atau pihak yang punya kepentingan sendiri. Dan, dengan segala kekuasaan yang dimilikinya, kepolisian memang menjadi kekuatan politik sendiri.
Pada awal-awal kekuasaan Jokowi, saya pernah menulis soal "Dwifungsi Kepolisian." Militer bagi Soeharto adalah polisi untuk Jokowi. Jika Soeharto memakai militer untuk membungkam lawan-lawan politiknya, Jokowi memakai instrumen hukum lewat kepolisian untuk membungkam lawan-lawannya.
Tampaknya Prabowo juga kewalahan mengendalikan kepolisian ini. Itulah sebabnya ia memperkuat Kejaksaan dan bahkan menempatkan militer untuk mengawal dan memperkuat Kejaksaan.
Hingga disini, demo yang sekarang tengah terjadi ini menjadi sangat politis. Saya sendiri cenderung melihat persoalan ini sebagai hal yang kedua. Mungkin ada elemen inkompetensi didalamnya. Namun, tidak bisa diabaikan juga faktor kesengajaan. Atau, minimal faktor pengabaian.
Saya tidak menolak bahwa analisis ini berbau konspiratif. Namun untuk sampai kepada kesimpulan ini saya melihat informasi yang tersedia.
Sekarang, institusi kepolisian tampaknya hampir kolaps. Presiden, entah karena alasan apa, tidak dengan segera mencopot Kapolri. Semua pertanda sudah mengarah kepada gagalnya Kapolri memimpin institusinya.
Tidak diragukan bahwa kepolisian harus direformasi. Ada yang salah dengan kepolisian ini selama sepuluh tahun terakhir. Seperti militer, kita menginginkan polisi yang profesional, yang sigap melayani masyarakat -- bukan yang brutal dan menggunakan kekerasan secara berlebihan.
Satu hal yang sama sekali tidak kita inginkan adalah bahwa Prabowo akan memakai kepolisian seperti Jokowi. Prabowo sudah mereorganisasi militer; menambah jumloah prajurit secara besar-besaran dan menghidupkan kembali peran militer di ranah sipil.
Jika insitusi kepolisian juga kemudian hanya berfungsi melayani kepentingan rejim yang berkuasa, maka tamatlah riwayat kedaulatan rakyat. Dan, saya percaya, negeri ini pun akan tamat bila rakyatnya tidak berdaulat.(*)
Penulis: Made Supriatma