![]() |
| Gambar ini diambil dari Facebook Penulis: Made Supriatma |
COGOIPA.ONLINE- Ini Pemerintah Yang Seriuskah? Beberapa hari lalu, saya terlibat pembicaraan mendalam dengan seorang kawan. Dia mengajukan pertanyaan menohok: Apakah presiden kita ini serius memerintah? Ini pertanyaan tanpa tedeng aling-aling.
Saya agak terbata-bata menjawabnya. Tapi intinya, ya serius? Mengapa tidak? Namun dari banyak bukti terlihat bahwa kursi kepresidenan hanyalah tujuan. Pokoknya menjadi presiden. Titik. Dan tujuan itu sudah tercapai. Memerintah atau governing bukan tujuan.
Ini kritik keras untuk pemerintahan yang tidak suka kritik. Presiden berkali-kali merutuki pengkritiknya, yaitu 'orang-orang pintar' yang kerjanya mengritik terus menerus. Mereka tidak bisa bangun jembatan. tidak bisa bikin beras, tidak bisa menciptaan lapangan pekerjaan .. litani ini bisa diteruskan.
Ya, tentu saja, kritik ini diujukan kepada orang-orang yang tidak paham apa fungsi orang-orang yang dianggap pintar dalam masyarakat. Setiap penguasa, bahkan yang paling otoriter brutal sekalipun, mengumpulkan orang-orang yang dianggap pintar. Tugas mereka memberi masukan -- termasuk kritik yang amat keras -- kepada penguasa. Ini diperlukan agar kekuasaan berjalan secara seimbang.
Abraham Lincoln membuat kabinet yang disebut 'team of rivals' yakni orang-orang yang punya ide berbeda. Mereka akan berdebat keras, presiden mendengarkan, dan ketika presiden mengambil keputusan, semua tunduk. Metode ini ditiru oleh Presiden Obama.
Dengan tujuan berbeda, Soeharto juga seringkali memiliki 'team or rival' ini. Pada awal-awal kekuasaannya ia bikin Opsus atau Operasi Khusus yang dipimpin oleh Ali Moertopo dan Soedjono Humardani. Ketika Opsus menguat, dia memberikan tandingan Jendral Soemitro, Wakil Panglima ABRI dan Pangkopkamtib. Kemudian ada Benny Moerdani vs Soedharmono; ada ABRI Hijau vs ABRI Merah, dan lain sebagainya. Soeharto mengendalikan semuanya. Ia menjadi pusat dari dua klik ini.
Lawan daripada 'team of rivals' ini adalah 'team of Sycophants' yakni tim yang kerjanya menjilat, asal bapak senang, selalu menyanjung bos-nya dengan pujian yang bisa membuat matahari bersinar di malam hari. Dua hari lalu, Menteri Kehutanan mengatakan bahwa Prabowo adalah presiden yang sangat cinta hutan dan satwa.
Semua orang tahu bahwa ini diucapkan untuk hadirin satu orang. Yaitu, si presiden sendiri. Si Menhut tidak sendirian. Kalau Anda perhatikan, semua pejabat dan politisi mengucapkan sanjungan yang sama. Dan, itu hanya untuk satu orang hadirin.
Hari ini saya menulis satu esei kecil tentang lambatnya respon pemerintah terhadap bencana banjir dan longsor di tiga provinsi di Sumatera. Jelas pemerintah tidak becus menghadapi bencana ini. Ali-laih bekerja secara terkoordinir dan sistematis, tanggapan pemerintah sangat kacau.
Menteri-menterinya memberikan laporan asal Bapak senang. Juga memanfaatkan kesempatan ini untuk macak bikin konten. Mereka datang dengan segala kemewahannya. Kadang mereka secara tidak sengaja memperlihatkan driinya secara telanjang. Seperti seorang menteri makan sate sehabis mengunjungi daerah bencana. Seorang anggota DPR tidak sengaja merekam video untuk kontennya dan memperlihatkan si menteri mengisap cerutu yang harganya ribuan dollar per pak.
Mengapa ini terjadi? Satu hal yang saya perhatikan adalah gaya memerintah dari presiden ini. Dia membuat kabinet yang sangat gemuk karena ingin secara cermat membagi-bagi kekuasaan di kalangan pendukungnya. Dia berharap kabinet ini berfungsi seperti Mabes TNI -- dimana dia jadi panglima dan dibantu asisten-asisten (dalam hal ini para Menko).
Dia berurusan hanya dengan Menko. Dia jarang sekali terlibat dengan menteri-menteri secara langsung kecuali menteri yang jadi perhatiannya seperti Menteri ESDM, Bahlil Dahadalia, yang selain jenaka juga menguasai kementerian strategis. Juga Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, yang melaksanakan banyak programnya. Selain itu, dia banyak sekali berinteraksi dengan Menko Urusan Pangan, Zulkifli Hasan, yang nyaris seperti wakil presidennya karena mengurus banyak hal dari MBG hingga ke Koperasi Desa Merah Putih.
Sementara Presiden dikelilingi oleh asisten-asisten pribadi, yang tugasnya membantu presiden melakukan kegiatan-kegiatannya. Presiden sangat dekat, bahkan sayang pada asisten-asistennya ini. Merekalah yang melindungi sang Presiden. Dari memenuhi kebutuhan pribadi hingga ke mengatur jadwal, bahkan memastikan suhu kolam renang!
Berbalik dengan yang terjadi pada umumnya, tampaknya Presiden sangat loyal pada para asisten pribadinya ini. Masih ingat pada Agustus lalu? Presiden menjemput sendiri seorang asistennya di Bengkulu dalam perjalanannya ke Malaysia. Ini membuat dahi banyak orang berkerenyit. Sejauh itukah loyalitas Presiden kepada para asisten pribadinya -- yang sebagian besar adalah pria muda ini?
Para asisten ini pun tampaknya tidak menghayati betapa sakralnya lembaga kepresidenan. Ini sebuah lembaga. Bukan sebuah pribadi. Saya mengintip beberapa akun Instagram para asisten ini. Luar biasa. Mereka bisa berpose apa saja di depan presiden dan tampaknya presiden pun tidak keberatan.
Tapi sudahlah. Itu hal minor. Lalu apa hubungannya dengan penanganan bencana? Presiden ini mengisolasi dirinya dengan para asisten yang masih sangat hijau ini. Mereka sangat protektif kepada bos-nya hingga semua informasi harus disaring. Pada bulan Agustus lalu, Presiden tidak mendapat informasi tentang protes yang sangat meluas hingga ke saat Affan Kurniawan dilindas oleh kendaraan taktis polisi.
Ini tentu hanya satu hal. Ada banyak hal lain yang membuat pemerintahan ini tidak kompeten. Seperti misalnya, menolak mengumumkan bencana ini sebagai bencara nasional. Alasannya, karena kita mampu menanganinya sendiri. Jika mampu, mengapa bencana ini tidak tertangani?
Dibalik itu semua, pemerintah ini berusaha memompa nasionalisme hingga dada warganya pecah. Tadi saat menulis ini, saya membaca di salah satu grup WA, sebuah ungkapan dari bahasa Arab: "Nasionalisme untuk rakyat kecil, Tanah Air untuk para elit (pejabat dan politisi)." Ya persis itulah yang terjadi. Kita disuruh mencintai tanah yang sudah mereka jarah dan kapling-kapling dan air yang sudah mereka cemari. (*)
Baca Juga:
https://fulcrum.sg/indonesias-slow-disaster-response-president-prabowo-constrained-by-his-own-agenda/
