26 Agustus 1963, Soekarno menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 169 tentang Hari Tani. Terdapat dua alasan yang menjadi pertimbangan:
“bahwa tanggal 24 September, hari lahirnja Undang-undang Pokok Agraria, merupakan hari kemenangan bagi Rakjat Tani Indonesia, dengan diletakannja dasar-dasar bagi penjelenggaraan Landreform untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme dalam lapangan pertanahan, agar Rakjat tani dapat membebaskan diri dari matjam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan alat tanah, sehingga melempangkan djalan menudju kearah masjarakat adil dan makmur.”
“bahwa tiap achir bulan September matahari melintasi garis chatulistiwa kearah selatan, musim labuh (turun kesawah) hampir datang waktunja, rakjat tani perlu bergembira dan bersjukur kepada Tuhan karena akan menerima rachmat-NJA jang berupa hudjan, perlu pula digerakkan agar daya kerdja dan daya tjiptanja berkembang untuk mentjapai produksi jang berlimpah-limpah, sebagai sjarat mutlak mentjapai masjarakat adil dan makmur.”
Kutipan di atas memberikan gambaran bahwa pertimbangan menetapkan Hari Tani berkenaan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan sebagai landasan untuk membebaskan kaum tani dari bentuk-bentuk penghisapan feodal dan musim tanam merupakan upaya meningkatkan produksi dalam negeri.
Mengapa UUPA menjadi rujukan penting? UUPA baru bisa dikeluarkan pada 1960, setelah melalui berbagai upaya. Mulanya dibentuk Panitia Agraria Yogyakarta pada 21 Mei 1948. Panitia tersebut membicarakan rancangan peraturan yang dapat menggantikan praktik-praktik hukum pertanahan di zaman Belanda.
Kemudian dibentuk lagi Panitia Agraria Jakarta pada 19 Maret 1951. Panitia ini mulai membicarakan batas minimum dan batas maksimum kepemilikan lahan. Setelah itu, dibentuklah Panitia Soewahjo. Panitia ini menyimpulkan pentingnya menghapus asas-asas kepemilikan tanah sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) 1870.
Panitia Soewahjo digantikan oleh Panitia Soenario pada 24 April 1958. Panitia Soenario diteruskan oleh Panitia Sadjarwo. Pada 1959, di Panitia Sadjarwo lah keluar naskah yang menjadi dasar untuk menyusun Rancangan Undang-Undang.
RUU tersebut dibacakan di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) pada 1 Agustus 1960. Pembahasannya menghabiskan waktu sebulan sampai disahkan menjadi UUPA pada 24 September 1960.
Menarik untuk mencermati proses penyusunan UUPA, apalagi jika dibandingkan dengan proses penyusunan undang-undang di era reformasi, semisal Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Pertama, meski struktur pemerintahan Indonesia dan panitia penyusun berganti-ganti, rencana membuat hukum agraria nasional terus berlanjut. Kedua, proses penyusunannya sendiri tampaknya dilakukan secara serius. Hal tersebut terlihat dari komposisi kepanitiannya. Selain melibatkan pejabat-pejabat agraria, hampir seluruh kepanitian melibatkan organisasi tani dan serikat buruh perkebunan serta kalangan akademisi yang dianggap memiliki kemampuan di bidang agraria.
Sebagaimana tertulis di bagian Menimbang UUPA, terdapat empat alasan keluarnya UUPA. Pertama, masyarakat Indonesia masih bercorak agraris. Kedua, hukum agraria yang berlaku masih didasarkan dan dipengaruhi oleh sendi-sendi hukum kolonial. Ketiga, hukum agraria bersifat dualistik. Keempat, hukum agraria warisan penjajahan tidak menjamin kepastian hukum.
Dengan alasan-alasan di atas, isi UUPA berupaya mengakui hak ulayat, menghapuskan hak-hak atas tanah yang diwariskan dari peraturan penjajah Belanda dan melindungi kaum tani miskin serta mengikis penghisapan manusia melalui alat tanah. Pemerintah di masa itu berupaya menyusun peraturan perundangan yang bersumber dari hukum-hukum yang berlaku dan menguntungkan masyarakat lemah.
Selo Soemardjan, dalam Land Reform di Indonesia (2008), menyebutkan bahwa UUPA mencakup prinsip tanah pertanian untuk petani penggarap, hak utama atas tanah untuk warga negara Indonesia, larangan kepemilikan tanah guntai (absentee) alias pemilik lahan yang berada di luar daerah, dan perlindungan bagi kaum tani yang lemah dari petani-petani yang lebih kuat.
Bagaimana UUPA dipahami? Peneliti Mubyarto Institute, Tarli Nugroho (2014) menyebutkan, keberadaan UUPA tidak dapat dilepaskan dari peristiwa-peristiwa lain, yaitu nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang terjadi sejak 1957 dan keberadaan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH). Dengan demikian, UUPA menjadi tolak ukur bagi peraturan perundangan lainnya.
UUPBH dikeluarkan pada 1960. UU tersebut dirancang untuk melindungi para penyewa tanah di hadapan para pemilik tanah. Juga untuk mendorong para penggarap tanah agar dapat meningkatkan produksi.
Perlu penelitian lebih jauh tentang bagaimana Hari Tani diperingati dan dirayakan di era 1960-an. Berbagai laporan dan penelitian di periode 1960-an menyebutkan, UUPA, sebagaimana pelaksanaan UUPBH dan UU Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda di Indonesia, tidak berjalan mulus.
Jika perusahaan-perusahaan Belanda, termasuk milik Inggris dan Jepang, setelah diduduki oleh serikat buruh malah dikuasai oleh jajaran tentara, pelaksanaan UUPA dan UUPBH terkendala birokrasi, bahkan disabotase oleh para pejabat yang berwenang. Aksi sabotase terhadap UUPA dan UUPBH mendorong ‘aksi sepihak’ kaum tani melawan ketidakikhlasan para pejabat dan penguasa tanah dalam membagikan kekayaannya kepada orang miskin.
“Mereka (kaum tani, pen.) berkeyakinan, bahwa pelaksanaan UUPBH dan UUPA bukan urusan bupati, tjamat, lurah atau pedjabat-pedjabat lain, karena djika digantungkan pada mereka, sampai kiamatpun tidak akan ada pelaksanaannja,” lapor Dipa Nusantara Aidit (1964). Laporan yang disusun berdasarkan investigasi selama tujuh minggu di desa-desa Jawa Barat tersebut menemukan berbagai modus pemilik untuk menghindari pelaksanaan UUPA dan UUPBH.
“Kaum tuantanah djahat dengan keras melawan pelaksanaan UUPBH dan UUPA. Mereka buru2 “menghibahkan” tanah-lebihnya kepada sanak-keluarganja supaja tidak terkena UUPA. Bahkan ada tuantanah jang untuk mempertahankan tanahnja sampai mentjeraikan isterinja setjara formil dan dengan demikian “membagi” tanah miliknja,” tambah Aidit.
Akhir 1965, Soeharto melikuidasi Soekarno. Selama berkuasa, Soeharto sama sekali tidak memperlihatkan niat untuk memajukan perekonomian dan melindungi kaum lemah. Tercatat, undang-undang yang pertama dikeluarkan adalah tentang Penanaman Modal Asing Nomor 1 Tahun 1967. UU tersebut, diantaranya, mengembalikan jenis-jenis kepemilikan lahan sebagaimana terjadi di zaman Belanda. Tidak ada lagi batas minimum dan maksimum dalam pemilikan lahan serta lenyap sudah perlindungan hukum bagi para petani penggarap. Lebih canggih lagi, pemilik lahan luas telah bertransformasi menjadi institusi-institusi negara atau menjadi pejabat pemerintah. Ibrahim adalah satu di antara petani penggarap yang tidak mendapatkan perlindungan ketika berhadapan dengan pemilik tanah.
Di masa sebelum 1965, urusan agraria ditangani oleh sebuah departemen. Di era Soeharto, Menteri Pertanian dan Agraria dipisahkan. Bidang Agraria ditangani oleh Direktorat Jenderal Agraria dan Transmigrasi di bawah Departemen Dalam Negeri.
Selain itu, pengadilan Land Reform yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1960 sebagai pelaksana UUPA dihapuskan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970. Pada 1980, dikeluarkan Keppres Nomor 55 tentang organisasi dan tata kerja pelaksanaan land reform. Dapat ditebak dengan jelas bahwa pembentukan organisasi land reform yang dimaksud beriringan dengan tingginya kebutuhan terhadap tanah untuk pembangunan kawasan industri dan infrastrukturnya. Sehingga tak jarang di kurun ini, pelepasan lahan dihargai murah dengan todongan senjata oleh tentara kepada kaum tani.
Penulis: Syarif Arifin
Catatan Kaki: Tulisan ini diambil dari media Indoprogress