Korupsi di Halmahera Tengah Menjadi Sebentuk Hegemoni

 


Budaya korupsi di Kabupaten Halmahera Tengah bukan lagi hal baru, melalui penelusuran dan mewawancarai informan, beberapa birokrasi nyata-nyata mempraktekkan tindak korupsi.

Beberapa instansi pemerintahan, yang tak bisa saya sebutkan namanya di sini, tindak korupsi yang dilakukan telah menjadi bagian dari rutinitas, pola yang dilakukan berulang, berkelanjutan, begitu seterusnya menjadi rutinitas sehingga menciptakan lingkungan yang korup.

Seorang informan yang saya temui adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), dalam mewawancarai ia mengatakan, "tindak korupsi di birokrasi (Dinas) tempatnya berkerja berlangsung terus-menerus, bahkan nominal uang yang sering diberikan selalu berbeda, tergantung pengurusan apa."

Sambungnya, misalnya mengurus sebuah rekomendasi untuk mencairkan uang di Bank, seseorang orang harus memberi atau istilahnya harga lelah atau saling pengertian ke birokrasi (Dinas) di nominal ratusan ribu. Ia juga mengatakan, ada waktu tertentu, puluhan orang datang mengurus rekomendasi untuk pencairan di Bank. Bayangkan, seandainya mencapai ratusan orang mengurus rekomendasi, berapa puluh juta yang akan dikantongi birokrasi tersebut.

Ungkapnya lagi, rekomendasi untuk pencairan uang di Bank, itukan ada file-nya di leptop hanya tinggal isi dan diprint. Rekomendasi itu berbunyi ratusan ribu. Kami harus merogoh saku di nominal itu, kalau memang belum ada uang ya kami harus pinjam dulu.

Rekomendasi yang sudah dikantongi oleh si pengurus harus segera dicairkan ke Bank, maka di sini praktek korup melalui kenalan atau yang bernama orang dalam dikomunikasikan agar segera cair tanpa harus menunggu lama.

Momen pengusulan kenaikan golongan PNS di Halmahera Tengah juga tidak terlepas dari praktik korup. Si informan mengatakan, setiap hirarki golongan nominal uangnya berbeda. Golongan tinggi, akan mengeluarkan nominal uang hingga puluhan juta, lebih besar dari golongan di bawahnya.

Praktek korupsi juga dilakukan secara terang-terangan di level desa, sekali lagi nama desa tidak bisa disebutkan, karena informan yang mengungkapkan masalah ini merupakan pengurus desa. Dalam kesempatannya ia mengatakan, suatu kali ada pembagian bantuan berupa uang ke warga. Setiap warga yang menerima bantuan uang tersebut memotong sepuluh ribu untuk uang administrasi. Bayangkan ini benar-benar mengerikan, apakah gaji yang diterima tidak cukup, sehingga warga yang susahpun masih dikorup oleh mereka.

Sebenarnya praktek suap, pungli, hadiah, dan praktek sejenis yang merupakan tindak pidana korupsi yang terjadi di lembaga birokrasi pemerintah bukanlah hal baru, ini sudah berlangsung lama. Orang-orang yang berada dalam lingkaran atau lingkungan korup ini tidak berdaya untuk melawan, dan mereka yang menjadi korban pun menerima secara ikhlas serta lambat laun hal ini menjadi wajar atau biasa-biasa saja. Menjadi kultur korupsi.

Orang orang menjadi begitu lemah atas praktek korupsi yang terjadi. Mereka harus korup. Yang ingin selamat harus menyuap. Ingin pekerjaan, ingin Jabatan, ingin proyek, menjadi Kepala Desa, Camat, DPRD, sekuriti. Begitu juga pejabat, elit birokrasi, elit mahasiswa, mandor, PNS, tokoh agama, tokoh masyarakat harus melakukan tindakan demikian.Orang-orang yang tidak melakukan tindak korup menjadi korban, dikucilkan, urusannya sulit. Maka perbuatan korupsi harus dilakukan kalau ingin selamat, kalau ingin segala urusan cepat selesai.

Kultur korupsi yang demikian, oleh Reza A.A Watimena dalam "Filsafat Anti Korupsi" menyebutkan menjadi sebentuk hegemoni, yakni kekuasaan yang menindas. Secara teori, kultur korupsi merupakan suprastruktur dari basis ekonomi. Nah, kultur korupsi, penyimpangan, berupa suap dan korup di level birokrasi dan masyarakat dipengaruhi oleh adanya kontradiksi-kontrdiksi dari sistem ekonomi kapitalis.

Manusia dalam basis ekonomi kapitalistik selain dipengaruhi oleh suprastruktur yang membawanya kepada ketidakberdayaan, manusia juga mengalami keterasingan (alienasi).Alienasi dalam konsepsi Marx dibagi menjadi empat bentuk: keterasingan dari produk kerjanya, terasing dari proses produksi, dari sesama manusia, dan dari dirinya sendiri. Hal ini membuat manusia terdistorsi dari nilai-nilai, dan juga hubungan manusia direduksi kedalam transaksi ekonomi.

Manusia yang apabila tereduksi kedalam transaksi ekonomi, maka hidupnya berada dalam pengejaran profit, keuntungan semata. Kasus korupsi oplosan BBM adalah manifestasi dari keterasingan manusia, dimana jabatan dan kerjanya dimanfaatkan untuk keuntungan.

Sejak Soeharto berkuasa, kekuatan modal asing dan paham liberalisme mendapat tempatnya yang mulia. Sumber daya alam dikuasai oleh asing, para kroninya terlibat berbagai jaringan bisnis.

Gerakan pro demokratik tiarap, akibat adanya depolitisasi, deorganisasi. Gerakan mahasiswa pun diberangus, terperdaya oleh kebijakan NKK-BKK. Lantas, medan politik dikuasai penuh oleh Soehartodakroninya

Tak bisa dipungkiri, kekuasaan yang otoriter, liberalisme, dan membentuk jaringan kroni adalah politik pengejaran keuntungan yang merupakan perlambang korupsi.

Hingga kekuasaan Prabowo-Gibran ini tak terlihat ada upaya negara keluar dari pendewaan atau penghambaan terhadap sistem Kapitalisme.

Padahal dalam buku Prabowo berjudul "Paradox Indonesia", orang nomor satu 1 itu menunjukkan pandangannya yang anti Kapitalisme Neoliberal. Ia menyadari sistem Kapitalisme hanya akan melahirkan mental korup. Pemimpin yang mudah disogok, bisa dibeli yang akhirnya pemimpin demikian tidak bisa menjaga kepentingan rakyat. Berikut kutipan Prabowo dalam buku "Paradox Indonesia":

“Sekarang Indonesia berada dalam keadaan yang sangat rawan. Banyak pemimpin kita yang bisa disogok, bisa dibeli. Akhirnya, pemimpin terpilih tidak menjaga kepentingan rakyat, tidak mengamankan kepentingan rakyat, tetapi malah menjual negara kepada pemodal besar-bahkan kadang kepada bangsa lain,” tulis Prabowo (h. 87).

Kutipan Prabowo Subianto di atas ini mengabarkan kepada kita bahwa korupsi di Indonesia sudah seperti penyakit kronis. Orang-orang sudah terbiasa dengan sogok, pungli, hadiah dan pemimpin yang bisa dibeli. Dan mereka yang tidak melakukan perbuatan korup, suap, atau sogok, hadiah, dan lainnya akan menjadi korban, dikucilkan, tidak dianggap, dikatai sok suci yang akhirnya sebagian dari mereka terseret melalui tindak korupsi.

Demikianlah, korupsi menjadi sebentuk hegemoni, yakni kekuasaan yang menindas, sehingga sejarah manusia modern saat ini, tindakannya yang bernama menyimpang; seperti suap, mencuri, dilihat sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.**

Firmansyah Usman, Warga Halmahera Tengah

Banemo, Maret 2025

Lebih baru Lebih lama