Jokowi The Obama Moment: Termakan Image Yang di Bikin Sendiri

Foto Internet

Penulis:Made Supriatma, Peneliti pada ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura

Ijazah: Beberapa waktu lalu, saya pernah menulis bahwa Jokowi saat ini sedang mengalami 'the Obama moment.' Itu adalah saat presiden Amerika tersebut mengalami serangan dari lawan-lawan politiknya soal akta kelahirannya. Ia dikabarkan tidak lahir di tanah Amerika dan karenanya tidak sah menjadi presiden. 

Kaum Republikan menggenjot isu ini terus menerus untuk mendelegitimasi Obama. Donald Trump berhasil membawanya ke panggung TV dan internet, serta dari sana ia meluncurkan karir politiknya dan menjadi presiden. Ya, karir politik Trump dibangun dengan menunggangi isu akta kelahiran Obama. 

Awalnya, Obama menanggapi isu ini dengan santai. Ia menepis anggapan bahwa ini isu besar. Ternyata, orang lebih paham isu ini ketimbang keberhasilannya mengangkat kembali Amerika dari keterpurukan ekonomi 2008 akibat jual beli kredit perumahan (subprime crisis). 

Ia pun terpaksa mengeluarkan Akta Kelahirannya yang lengkap (long form birth certificate). Ia juga melampirkan berita iklan yang mengumumkan kelahirannya. 

Apakah isu itu hilang? Tidak sama sekali. Konspirasi malah makin marak. Ia malah seperti bensin yang disiramkan ke api. Terus bertambah besar. Donald Trump memanfaatkannya untuk kampanye presiden. Tidak peduli norma, moral, atau aturan. Dia tabrak terus. Dan, hasilnya, dia jadi presiden menggantikan Obama. 

Saya adalah orang yang tidak suka dengan isu ijazah ini. Mungkin karena saya termasuk seorang, yang dalam kamus politik Amerika dimasukkan sebagai 'progresif liberal,' yang rada-rada Kiri, yang masih percaya pada norma dan moral seperti berpolitik itu harus santun (political correctness). 

Ini kemudian menjadi masalah besar ketika norma dan moral yang saya pegang tersebut saya paksakan agar dianut oleh orang lain. Bahkan lelucon sekali pun kemudian menjadi masalah. Ketika mengatakan seseorang 'gendut,' saya merasa tidak nyaman dan menegur bahwa itu adalah 'body shamming.' Beberapa orang liberal progressif secara agresif menjadi 'inquisitor' atas tingkah laku orang lain. Mereka merasa menjadi penjaga moral masyarakat -- persis seperti kaum radikal agama, yang anehnya juga mereka benci. 

Keadaan dunia seperti itulah yang memberikan kita Donald Trump -- manusia dengan mulut kotor, tanpa tahu malu memanfaatkan kekuasaannya untuk memperkaya diri, dan merisak siapa saja yang menghalangi jalannya. Politik Trump itu pulalah yang ditiru di banyak negara -- oleh para tiran atau calon tiran, besar dan kecil. 

Kalau kita kembali pada ijazah Jokowi, ini persis seperti yang digambarkan oleh teori-teori post-strukturalisme pada tahun 1960an (baru poluer di Indonesia era 1990an). Teori ini sederhananya mengatakan bahwa kebenaran dan makna itu tidaklah tunggal dan tetap (fixed). Ia relatif. Kebenaran, pengetahuan, dan makna itu sifatnya cair. Tergantung dari perspektif orang yang menginterpretasikannya. Inilah yang sering disebut sebagai 'post-truth,' istilah yang tidak terlalu saya sukai. 

Ijazah adalah selembar kertas. Sampai disana semua orang mungkin setuju. Namun ijazah Jokowi apakah asli atau palsu, itu adalah hasil interpretasi. Sekalipun ijazah ini diperlihatkan kepada publik, dipegang, dan dicium -- sebagian orang tetap tidak percaya bahwa itu asli. Sekalipun kemudian pihak UGM, yang mengeluarkan ijazah itu, mengkorfirmasi keasliannya, sebagian orang tetap tidak percaya karena mungkin saja UGM berada dibawah tekanan. Atau, UGM tentu tidak mau reputasinya tercoreng karena selama ini mengakui bahwa Jokowi adalah lulusannya. 

Intinya, sangat sulit mengubah image, persepsi dan interpretasi. Dan, pembentukan image/persepsi/interpretasi ini dalam dunia kontemporer kita sekarang adalah perang. Pemenangnya adalah, menurut ekonom dan mantan Menteri Keuangan Yunani, Yanis Varoufakis, mereka yang menguasai teknologi cloud dan pembenttuk algoritma. Yanis Varoufakis menyebutnya sebagai 'techno-feudalism' dimana perusahan seperti Meta, Amazon, X, dan lain sebagainya itu menguasai pembentukan image/persepsi/interpretasi. 

Kasus ijazah ini akan terus menghantui Jokowi. Bahkan kalau ia akan menjadi Presiden RI untuk masa jabatan ketiga nantinya. Sebelum sampai ke tahap itu, Jokowi jelas sudah terluka oleh isu ini. Dia mungkin akan berhasil mengirim orang-orang yang rajin meniupkan isu ini ke publik ke penjara. Saya kira, itu justru akan memperkuat persepsi bahwa Jokowi itu palsu: ijjasahnya palsu, demokrasi yang praktekkan itu palsu, dan bukan tidak mungkin dia pun akan dianggap sebagai politisi culas yang palsu juga. 

Ironi terbesar dari kasus ijazah ini adalah bahwa Jokowi berkuasa justru karena image/persepsi/interpretasi ini. Ia memproyeksikan dirinya sebagai 'orang baik,' kampiun toleransi, presiden sipil yang sederhana dan merakyat (sambil menyembunyikan barang-barang bermerek yang dipakai seluruh anggota keluarganya); pemimpin yang tas-tes; das-des, cepat tanggap menyelesaikan masalah, sampai kemudian ketahuan bahwa kita tidak punya uang untuk membeayai itu. 

Jokowi mampu memelihara kekuasaannya lewat image/persepsi/ interprestasi yang ia bangun. Ketika ia berkuasa, ia bisa memakai negara untuk memperkuat image tentang dirinya. Persoalan muncul ketika ia tidak lagi berkuasa. Ia harus melakukan image-making yang mahal itu sendirian. Itulah sebabnya ia sangat rajin menyambangi media. Ia terus menerus ingin menjadi pusat perhatian. Tiba-tiba ia murah hati diwawancarai siapapun. 

Ia pergi ke Sumatera Utara, dimana para petani jeruk beterima kasih padanya dan membangun patung dirinya, hanya untuk mengajari para petani itu membasmi lalat buah. Itu jelas diluar kompetensinya. Dan, saya yakin, para petani itu lebih ahli dari dia. Namun, Jokowi butuh perhatian. Dan perhatian adalah satu-satunya jalan untuk menjaga masa depan politiknya. 

Dalam dunia sekarang, menurut hemat saya, informasi adalah candu (opium of the people). Dunia dibentuk olehnya. Dunia juga dihancurkan olehnya. Para politisi seperti Jokowi tahu persis itu. Namun sekarang ia memiliki keterbatasan. Ia tidak lagi berkuasa. Ia tidak lagi menjadi pusat perhatian. Ia tidak bisa membentuk image dirinya seturut yang dia mau. Image-nya dibentuk oleh ijazahnya. Disanalah kontradiksi dan ironinya. 

Untuk saya, Jokowi justru termakan oleh image yang dia bikin sendiri. Ketika ia berusaha menjadi politisi yang sealamiah mungkin -- kelas bawah, sederhana, cekatan dan rajin -- kemudian ia digambarkan oleh lawan-lawannya sebagai palsu. Ironi yang sangat sadis dari politik.

PS: Biasanya saya menghindar dari 'name dropping' ketika menulis. Itu adalah kebiasaan untuk mengutip dan memamerkan bahwa penulisnya sudah membaca dan merujuk pada referensi tertentu. Kali ini, saya mengutip teori dan nama :P Lupakan, kalau Anda tidak suka.(*)

Lebih baru Lebih lama